![]() |
Policy |
KONSEP KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
ANAK
PUTUS SEKOLAH DI INDONESIA
Pendidikan
merupakan suatu kebutuhan primer, dimana orang-orang berlomba untuk dapat
mengenyam pendidikan setinggi mungkin dan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan Seni (IPTEKS). Hal ini dilakukan agar dapat mengarungi kehidupan
yang serba canggih dan dapat mengikuti kuatnya pengaruh globalisasi yang merambah seluruh bidang
kehidupan. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan sebagai salah
satu investasi masa depan adalah suatu usaha yang sangat memegang perenan
penting. Pendidikan akan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi orang-orang
yang cerdas dan dapat memanfaatkan dan menyikapi seluruh kesempatan
dalam memenuhi dan memperjuangkan kehidupan. Dengan kata lain, orang-orang yang
tidak mengenyam pendidikan akan menjadi budak globalisasi, yang
mengombang-ambingkan kehidupannya dalam ketidak mampuan baik secara
moril dan materil.
Rendahnya kesadaran akan pentingnya
pendidikan di Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi
pemerintah guna memajukan peradaban dan tingkat kehidupan yang lebih baik dan
mandiri. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai
permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan bangsa Indonesia. Salah
satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di
Indonesia adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia
sekolah). Selain tingginya angka putus sekolah, rendahnya minat anak bahkan
orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi
dirasakan masih sangat kurang. Adapun satu hal pokok di atas dapat menjadi satu
alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang memang bila
ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah saja yang perlu berpikir jauh,
namun masyarakat dan tentunya para orang tua harus memahami benar betapa
pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun sebagai anggota dalam sistem
tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
Salah satu faktor yang dapat menjadi
tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah tingginya angka
putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah). Selain tingginya angka putus
sekolah, rendahnya minat anak bahkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi dirasakan masih sangat kurang. Adapun satu
hal pokok di atas dapat menjadi satu alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan
di Indonesia yang memang bila ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah
saja yang perlu berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua
harus memahami benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun
sebagai anggota dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
Jika diperhatikan
permasalahan tersebut, mungkin banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak
dapat mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya
kesulitan ekenomi keluarga, keadaan rumah tangga yang tidak berjalan baik,
permasalahan lingkungan yang mendorong anak untuk tidak bersemangat dalam
mengikuti pendidikan, dan kurangnya dorongan yang terdapat pada diri anak untuk
bersekolah, dan faktor yang paling penting yang datang dari institusi terkait,
seperti Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang dalam pembuatan program dan
pengelolaan pendidikannya masih belum menunjukkan kualitas yang membanggakan,
sehingga masih belum tepat sasaran dalam mengalokasikan anggaran untuk bantuan
pendidikan bagi anak-anak putus sekolah, serta hal-hal lain yang ikut berpengaruh,
seperti penyediaan sarana dan prasarana, serta fasilitas pendidikan di daerah
terpencil atau daerah tertinggal.
Hal ini memang
terdengar
sedikit miris. Ditambah lagi saat ini pendidikan sudah didesentralisasikan.
Dengan arti kata Kabupaten dan Kota sudah memiliki wewenang dan tanggungjawab
baik dalam segi jalannya roda pemerintahan, maupun dukungan alokasi dana yang
dapat membantu menyelesaikan permasalahan tentang anak yang putus sekolah.
Dapat diartikan bahwa program desentralisasi pendidikan merupakan jalan
yang terang bagi pemerintahan kabupaten dan kota dalam menyikapi segala
permasalahan yang ada sehingga pemerintah daerah dan masyarakat memiliki
wewenang dalam yang luas dalam mencegah anak putus sekolah akibat dari tidak
meratanay akses dalam bindang
pendidikan. Pemerintah Kabupaten dan Dinas Pendidikan dapat membuat
program-program yang akurat dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Tingginya anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan angka putus sekolah
di tanah air membuat tingkat Indonesia turun dalam indeks pembangunan
pendidikan untuk semua (education for all) dari badan dunai yang
mengurusi pendidikan, UNESCO. Tahun 2011 sebanyak 527.850 anak atau 1,7% dari
31,5 juta anak sekolah dasar putus sekolah. Kondisi demikian membuat peringkat
Indonesia turun ke posisi 69 dari 127 negara. Faktor lain adalah tingginya
angka buta huruf nasional yang masih lebih tinggi dari 7% turut mempengaruhi
peringkat Indonesia. Data yang diolah Lembaga Demografi UI, menunjukkan di
sejumlah daerah, jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah serta angka
putus sekolah tercatat masih sangat tinggi.
Tujuan jangka panjang Depdiknas adalah
mendorong kebijakan sektor agar mampu memberikan arah reformasi pendidikan
secara efektif, efisien dan akuntabel. Kebijakan ini diarahkan pada pembenahan
perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategis serta
program-program yang didasarkan pada urutan prioritas. Di samping itu, disusun
pula pola-pola pendanaan bagi keseluruhan sektor berdasarkan prioritas, baik
dari sumber Pemerintah, orang tua maupun stakeholder
lain di setiap tingkat pemerintahan. Pengelolaan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan secara menyeluruh dari sektor pendidikan (sector-wide approach) yang bercirikan
(a) program kerja disusun secara kolaboratif dan sinergis untuk menguatkan
implementasi kebijakan pada semua tingkatan, (b) reformasi institusi
dilaksanakan secara berkelanjutan yang didukung program pengembangan kapasitas,
dan (c) perbaikan program dilakukan secara berkelanjutan dan didasarkan pada
evaluasi kinerja tahunan yang dilaksanakan secara sistematis dan memfungsikan
peran-peran yang lebih luas.
Memahami
berbagai faktor penyebab putus sekolah maka dirasa perlu refomulasi kebijakan
pendidikan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan dan program pada masa
yang akan datang “penurunan jumlah anak putus sekolah, pada setiap jenjang
pendidikan dengan rencana aksi dapat
dibagi ke dalam dua pendekatan, yakni Public
Policy dan Soacial Policy (Noeng
Muhadjir, 2004).
a. Public Policy
Memberikan layanan pada publik rata-rata dengan menetapkan biaya
pendidikan, menjaga martabat warga negara, memberikan pelayanan sosial dan
pendidikan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan rata-rata warga negara. Dalam
hal pembuatan kebijakan tentang pendidikan, pemerintah mengakomodir keadaan
rata-rata tingkat ekonomi masyarakat, dan melakukan pemerataan pendidikan.
b. Social Policy
Paradigma ini tidak sebatas membantu yang lemah,
tetapi menjangkau semua kebijakan bagi kepentingan semua masyarakat bangsa dan
negara, dan menjangkau visi global. Melalui community
based development dalam social policy
perlu ditampilkan dalam filsafat pemberdayaan masyarakat pada semua jenjang
untuk membuat perencanaan, mengarahkan, mengkoordinasi, dan
mengimplementasikan.
Berdasarkan pandangan dua pendekatan di atas, maka dapat diberikan
pemecahan terhadap permasalahan anak putus sekolah dalam bentuk:
1)
Perluasan pendidikan
Wajar pada jalur non formal: termasuk kebijakan strategis untuk mendukung
program Wajar. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi
(APM/APK) Dikdas melalui program Paket A dan Paket B. Program ini sangat
strategis untuk menjangkau peserta didik yang memiliki berbagai keterbatasan
untuk mengikuti pendidikan formal, terutama anak-anak dari keluarga tidak
mampu, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, atau anak-anak yang
terpaksa bekerja (Renstra Depdiknas, 2005-2009, hal. 21)
2)
Memberdayakan
Masyarakat dalam Mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM)
Keterlibatan masyarakat sebagai
bagian dari sebuah sistem pada proses pendidikan yang berperan juga sebagai
penyelenggara pendidikan di masyarakat sendiripun saat ini masih kecil
(walaupun tidak seluruh wilayah di Indonesia rendah) dan belum merata dalam hal
keterlibatan secara langsung menangani secara serius permasalahan tingginya
angka putus sekolah dan meningkatkan pola pikir dan paradigma masyarakat untuk
menyadarkan dan memahami bersama betapa pentingnya pendidikan sebagai bekal masa
depan bangsa bagi generasi penerus bangsa Indonesia.
Adapun
keterlibatan secara langsung unsur masyarakat dalam menyelenggarakan proses
pendidikan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan mendirikan dan
menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal yang dikelola dan dikembangkan
sendiri oleh masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah melalui satuan kerja
pendidikan nonformal dan informal.
3) Pendekatan budaya dengan memanfaatkan kearifan lokal
dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya siswa putus sekolah. Pendidikan
berbasis masyarakat sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan
masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi terhadap pelaksanaan
pendidikan di daerahnya masing-masing. Jadi hal ini sangat potensial untuk
dijadikan rekomendasi dalam merencanakan pendidikan yang berbasis lokal
khususnya dalam hal pendidikan bagi anak yang putus sekolah.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih