Ekologi Kelompok Sebaya
By: ASWASULASIKIN
(Terjemahan ekologi of the peer group)
Tanpa teman tak
satupun yang akan memilih untuk hidup, meskipun ia memiliki segalanya.
(Aristoteles)
TEMAN SEBAYA, WIBAWA, KEKUASAAN,
DAN KEPERCAYAAN
Masa Anak Usia Dini (Usia 2 sampai 5
atau 6). TK, interaksi sosial anak-anak tidak hanya dipengaruhi oleh
bagaimana mereka merasa aman dalam kasih sayang dengan ibu tetapi juga oleh
seberapa bersedia orang dewasa memberikan kesempatan untuk interaksi sosial
(Ladd & Lesieur, 1995). Misalnya, di mana keluarga tinggal menentukan
jumlah anak yang sama-usianya yang tinggal di dekatnya. Demikian juga,
bagaimana keinginan orang tua mengajak anak-anak lain ke rumah mereka atau membawa
anak mereka ke rumah orang lain, dan apakah anak masuk program TK, mempengaruhi
jumlah interaksi sosial yang bisa terjadi.
Pola asuh ditemukan mempengaruhi kompetensi anak-anak dalam
berinteraksi dengan teman sebaya. Pengasuhan
dengan cara memerintah (demokrasi) dikaitkan dengan kompetensi sosial dan
perilaku anak-anak dan kepercayaan diri (Baumrind, 1973). Sebaliknya, Pola asuh otoriter (arahan orang dewasa),
permisif/suka mengizinkan (arahan anak),
dan tidak ikut campur (acuh tak acuh),
dikaitkan dengan kompetensi rendah dalam interaksi sosial (Ladd & Lesieur,
1995, Ladd & Pettit, 2002). Hal ini kemungkinan besar karena model interaksi
pengasuhan anak dengan teman-teman mereka.
Masa Anak Usia Pertengahan (Usia 6 sampai 12 atau 13 tahun). Usia sekolah merupakan kesempatan anak-anak untuk meningkatkan interaksi sosial. Anak-anak menghabiskan sebagian besar hari dengan anak-anak lainnya di kelas, di bus sekolah, dan di lingkungan sekitar serta mereka tidak butuh lagi orang dewasa untuk mengatur interaksi sosial mereka. Dalam pertengahan tahun, anak-anak menjadi lebih dan lebih bergantung pada pengakuan dan persetujuan dari teman sebaya mereka, daripada orang dewasa. Rasa memiliki meluas dan mengembang. Menariknya, bagaimanapun, anak-anak yang orang tuanya berperan aktif dalam mengatur dan mengorganisir hubungan pertemanan mereka (mengundang anak-anak khusus ke rumah, mendorong anak-anak mereka berpartisipasi di sekolah atau kelompok masyarakat, membahas teman anak-anak dan interaksi) cenderung menjadi lebih dekat, lebih harmonis hubungannya dengan teman sebaya (Ladd & Lesieur, 1995).
Remaja (Usia 12 atau 13 sampai 18 tahun atau lebih). Remaja umumnya menggambarkan kebutuhan dan berikut interaksi sosial mereka sesuai dengan kedekatan hubungan. Hubungan terdekat dan interaksi sosial yang paling intim, seperti berbagi perasaan, terjadi dengan satu atau dua teman “terbaik”; berikutnya adalah hubungan barangkali dengan 6-10 teman sebaya yang melakukan hal-hal bersama-sama (“kelompok kecil”), terakhir, adanya hubungan dengan kelompok sebaya yang lebih besar, yang lebih bebas diatur (atau “pergaulan umum”) yang dikenal para remaja (Steinberg, 1996).
Kesadaran Diri dan Identitas Pribadi
Hubungan
teman sebaya juga memberikan kontribusi terhadap konsep diri pada berbagai
tahap perkembangan.
Masa Bayi/Balita. Bayi 6 bulan melihat, bersuara, tersenyum, dan menyentuh bayi lainnya, sebagai cara membedakan diri dari orang lain (Hay, 1985). Selama bayi berkembang, hubungan dengan teman sebaya berubah, menjadi lebih timbal balik. Misalnya, pada usia 1 tahun, senyum mereka, suara, dan kegiatan lucu sering meniru atau bereaksi (Howes & Matheson, 1992). Selama tahun kedua, balita menggunakan kata-kata untuk berkomunikasi dan dapat mengkoordinasikan perilaku mereka dengan teman-teman bermain (Rubin, Bukowski, & Parker, 1998).
Masa Anak Usia Dini. Ketika anak-anak mulai bermain dalam kelompok, umumnya setelah usia 2 atau 3 tahun, mereka memiliki kesempatan mengambil berbagai peran yang tidak tersedia bagi mereka dalam konteks keluarga. Sekarang mereka harus berjuang dan menyelesaikan masalah-masalah kekuasaan, kepatuhan, kerjasama, dan konflik (Kemple, 1991). Masalah-masalah tersebut memberikan kontribusi terhadap perkembangan kesadaran diri dan identitas pribadi yang memberikan anak-anak muda kesempatan untuk menjadi tegas mengenai kepemilikan dan menegosiasikan keinginan: “Itu teka-teki saya, kamu tidak bisa memainkannya,” atau “Jika kamu membiarkan saya naik sepeda, saya akan membiarkan kamu memegang boneka saya.”
Masa Anak Usia Pertengahan. Untuk anak-anak tahun pertengahan (usia 6 sampai 12 atau 13 tahun), kelompok sebaya adalah menarik karena memberikan kesempatan bagi kebebasan yang lebih besar daripada keluarga, sehingga meningkatkan kesadaran diri. Apakah Anda pernah membangun sebuah benteng atau rumah pohon saat Anda masih kecil? Ide yang mendasari, tentu saja, demi kelompok untuk memiliki tempat sendiri, dimana ia bisa bebas dari pengawasan orang dewasa dan teman sebaya yang tidak diinginkan dapat dikeluarkan.
Masa Remaja. Masa remaja (sekitar usia 13-18 tahun) adalah waktu dalam masyarakat kita saat kegiatan kelompok sebaya meningkat, salah satu alasan remaja yang belum sepenuhnya masuk dalam dunia orang dewasa adalah tanggung jawab dan pengakuan atas kontribusi. Oleh karena itu, mereka beralih ke teman sebaya. Para remaja seringkali menghadapi perbedaan dalam nilai-nilai keluarga dan kelompok sebaya. Misalnya, prestasi akademik merupakan nilai penting dalam beberapa keluarga, sedangkan di antara beberapa kelompok remaja, prestasi atletik jauh lebih penting (Steinberg, 1996). Nilai manakah yang lebih cenderung diadopsi oleh remaja: keluarga atau teman-teman mereka? Menurut Sebald (1989, 1992), remaja beralih ke orang tua mereka dalam hal yang berkaitan dengan tujuan sekolah atau pekerjaan—biasanya, yang berorientasi keputusan masa depan. Mereka berpaling kepada teman-teman mereka dalam hal pakaian, kegiatan sosial, kencan, atau rekreasi—biasanya, yang berorientasi keputusan saat ini. Pada isu-isu moral, nilai-nilai orangtua mendominasi; pada penampilan, seperti perawatan, nilai-nilai teman sebaya mendominasi (Niles, 1981).
·
Orang tua yang berkuasa, yang
hangat, menerima, tidak terlalu mengontrol atau terlalu longgar, dan konsisten
dalam membesarkan anak mereka, umumnya memiliki anak-anak yang melekat dan yang
tertanam nilai-nilai dalam diri mereka. Anak-anak ini tidak melawan atau tidak putus
asa mencari dukungan dari teman sebayanya (Fuligni & Eccles, 1993). Mereka
biasanya bergaul dengan teman-teman yang berbagi nilai-nilai mereka, sehingga
mereka tidak menghadapi pengaruh negatif teman sebaya (Fletcher, Darling,
Steinberg, & Dornbusch, 1995).
·
Orang tua yang otoriter, yang
ketat dan dingin dan yang tidak membiasakan remaja mengurus keperluannya dengan
lebih leluasa, biasanya memiliki anak yang mengasingkan diri dari nilai-nilai
orangtua dan tertarik pada kelompok sebaya untuk memperoleh pengertian dan
penerimaan (Fuligni & Eccles, 1993). Remaja seperti ini rentan mendapat pengaruh
negatif teman sebayanya.
·
Orang tua yang permisif/suka
mengizinkan, yang memanjakan anak-anak mereka dengan tidak memberikan standar,
aturan, atau konsekuensi perilaku dan/atau yang mengabaikan kegiatan anak-anak
mereka, biasanya rentan mengalami masa remaja yang tertarik pada kelompok
sebaya yang antisosial (Dishion, Patterson, Stoolmiller, & Skinner, 1991).
·
Orang tua yang tidak ikut
campur, yang secara emosional terpisah dan acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan
kegiatan mereka anak-anak, umumnya memiliki anak dengan regulasi-emosional diri
yang buruk, prestasi akademik yang rendah, dan sering berperilaku antisosial dengan
teman sebaya di masa remaja (Baumrind, 1991; Lamborn, Mounts, Steinberg, &
Dornbusch, 1991).
PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS: EMOSI
Individu yang tidak memiliki
hubungan teman sebaya yang normal akan mempengaruhi perkembangan psikologis
mereka selanjutnya. Beberapa penelitian telah mengaitkan hubungan teman sebaya
yang buruk pada masa kanak-kanak terhadap pertumbuhan perilaku neurotik (penderita
gangguan emosi/perasaan) dan psikotik (orang gila) dan lebih cenderung putus
sekolah (Asher & Coie, 1990; Hartup, 1983; Ladd, 1999, Rubin, Bukowski,
& Parker, 1998). Psikolog sebenarnya menemukan bahwa ukuran sosiometrik (ukuran
pola daya tarik dan penolakan di antara anggota kelompok, dibahas kemudian
dalam bab ini) yang diambil dalam kelas SD memprediksi penyesuaian dalam
kehidupan selanjutnya yang lebih baik daripada tes pendidikan atau kepribadian
lainnya. Kelompok sebaya anak tampaknya menjadi sebuah “barometer sensitif”
masalah penyesuaian saat ini dan yang akan datang (Asher, 1982; Hymel, Bowker,
& Woody, 1993; Parker & Asher, 1987). Mengapa ini begitu?
Berurusan dengan dunia sosial membutuhkan keterampilan komunikasi dan kemampuan
mengkoordinasikan tindakan dengan orang lain, serta timbal balik, kerjasama,
dan kompetisi. Kompetensi ini berkembang melalui interaksi dan pengalaman dalam kelompok
sebaya. Selain itu, kelompok sebaya memiliki norma-norma perilaku tertentu–kadang-kadang
positif (misalnya, kerjasama) dan kadang-kadang negatif (misalnya, pengecualian
dari beberapa anak atau pemberontakan). Anak-anak belajar bersaing demi status dalam
kelompok sebaya dengan cara patuh terhadap norma-norma kelompok (“pengikut”) dan
menciptakan norma kelompok (kepemimpinan) pada waktu yang tepat. Status, atau
hirarki sosial, umumnya tetap cukup stabil dalam kelompok, mereka yang tidak
pantas masuk diusir atau keluar sendiri. (American Academy of Pediatrics [AAP],
2002).
PERKEMBANGAN SOSIAL: KOMPETENSI SOSIAL
Kompetensi sosial meliputi perilaku yang dipengaruhi oleh pemahaman perasaan dan maksud orang lain, kemampuan merespon dengan tepat, dan pengetahuan tentang konsekuensi tindakan seseorang. Bagian dari sebuah kelompok sosial meliputi penyesuaian diri terhadap norma-norma kelompok. Tingkat penyesuaian sosial yang seseorang tunjukkan tergantung pada usia mereka, situasi, dan tahap perkembangan kognitif, serta tergantung pada faktor-faktor psikologis, seperti temperamen, nilai-nilai dan moral, motif, dan harga diri.
PERKEMBANGAN KOGNITIF: KESADARAN SOSIAL
Berbagai penelitian menunjukkan,
kelompok sebaya menjadi perantara sosialisasi yang semakin kuat selama periode
perkembangan antara masa anak usia dini (2-5 tahun) dan praremaja (l1-13 tahun).
Mengapa anak usia 11-13 tahun lebih rentan terhadap pengaruh kelompok sebaya daripada
anak-anak usia lainnya?
Persis selama anak-anak
bergaul satu sama lain yang terus meningkat sejak bayi, maka kemampuan
mengatasi pesan sosial yang kompleks meningkat karena usia. Misalnya, anak di
bawah usia 7 tahun tidak memiliki kemampuan kognitif bahkan untuk menyadari
tekanan teman sebaya untuk menyesuaikan diri atau akibat penyimpangan. Mereka
kesulitan mengambil sudut pandang yang lain sehingga tidak bisa memperhitungkan
apa pikiran kelompok sebaya tentang mereka.
Hasil penelitian
telah mengumpulkan mengenai hubungan antara perkembangan sosial dan kognitif
(Ladd, 1999). Hubungan ini disebut sebagai sosial kognisi: konsepsi dan penalaran
tentang orang, diri, hubungan antara orang, peran kelompok sosial, dan aturan, serta
hubungan konsepsi tersebut terhadap perilaku sosial (Shantz, 1983). Kerjasama dengan
teman sebaya melalui bahasa dan permainan memungkinkan anak-anak membangun pemikiran
(Berk & Winsler, 1995). Interaksi sosial dengan teman sebaya juga
berkontribusi terhadap pemahaman kognitif anak-anak tentang budaya mereka.
Anak-anak usia
7-11 tahun berada dalam tahap perkembangan kognitif yang oleh psikolog Swiss Jean
Piaget (1952) disebut operasi konkret.
Tahap ini ditandai dengan kemampuan menggunakan logika, prinsip sistematis
untuk membantu menafsirkan
pengalaman tertentu atau nyata, tetapi juga oleh ketidakmampuan untuk membedakan antara asumsi tidak nyata (hipotesis) dan fakta (realitas).
pengalaman tertentu atau nyata, tetapi juga oleh ketidakmampuan untuk membedakan antara asumsi tidak nyata (hipotesis) dan fakta (realitas).
Menurut Elkind
(1981a), anak-anak pada tahap operasi-konkret membuat asumsi
tentang situasi dan orang yang mereka yakini nyata dan benar—“Asumsi Realitas”— tak peduli betapa tidak logisnya mereka. Sebagai contoh, anak-anak Amerika pada usia ini
yang telah melihat globe di sekolah mungkin berusaha menggali lubang di tanah untuk mencari Cina, karena Cina berada di sisi lain dari globe (dulu saya melakukan hal ini di
pantai), dan pemikiran orang dewasa tidak sepenuhnya dapat menghalangi mereka. anak-anak pada tahap operasi-konkret juga menganggap diri mereka pintar. Elkind menyebutnya “kesombongan kognitif”—keyakinan yang berlebihan pada kemampuan penalaran seseorang. Konsep kesombongan kognitif digambarkan dalam beberapa cerita favorit anak-anak usia ini—misalnya, Peter Pan (seorang anak yang memperdaya Kapten Hook) atau Petualangan Alice di negeri ajaib (gadis muda yang terlihat seperti seorang Ratu bodoh).
tentang situasi dan orang yang mereka yakini nyata dan benar—“Asumsi Realitas”— tak peduli betapa tidak logisnya mereka. Sebagai contoh, anak-anak Amerika pada usia ini
yang telah melihat globe di sekolah mungkin berusaha menggali lubang di tanah untuk mencari Cina, karena Cina berada di sisi lain dari globe (dulu saya melakukan hal ini di
pantai), dan pemikiran orang dewasa tidak sepenuhnya dapat menghalangi mereka. anak-anak pada tahap operasi-konkret juga menganggap diri mereka pintar. Elkind menyebutnya “kesombongan kognitif”—keyakinan yang berlebihan pada kemampuan penalaran seseorang. Konsep kesombongan kognitif digambarkan dalam beberapa cerita favorit anak-anak usia ini—misalnya, Peter Pan (seorang anak yang memperdaya Kapten Hook) atau Petualangan Alice di negeri ajaib (gadis muda yang terlihat seperti seorang Ratu bodoh).
Karena
anak-anak di bawah usia 11 tahun sering berpikir bahwa mereka mengetahui itu semua,
mereka kadang-kadang merasa tidak perlu memperhatikan pendapat orang lain, baik
itu orang dewasa atau anak-anak lainnya. Dalam konteks ini, “Saya tidak perlu” (ucapan
yang umum pada usia ini), yang selanjutnya, menunjukkan tidak begitu banyak
tantangan seperti pernyataan kepercayaan dalam kemampuan mereka sendiri
(Piaget, 1952).
Sekitar usia 11
tahun, anak-anak mampu berpikir logis. Piaget menyebut tahap ini operasi formal karena individu sekarang
memahami bentuk dibalik konsep dan dapat menambah ide-ide atau menguranginya
sejak saat itu. Tahap ini ditandai dengan kemampuan berpikir logis tentang
ide-ide abstrak dan hipotesis, serta fakta-fakta konkret. Anak-anak sekarang
dapat membangun semua kemungkinan proposisi—yang terkait dengan fakta dan yang bertentangan dengan
fakta—dan juga dapat mengkonseptualisasikan pikiran mereka sendiri dan menemukan
kesewenang-wenangan asumsi mereka. Mereka juga menemukan aturan untuk menguji realitas,
atau menguji asumsi terhadap fakta-fakta. Hal ini menyebabkan kepercayaan diri berkurang
dalam kemampuan mereka sendiri, terutama kepintaran mereka. Anak praremaja
menyadari reaksi orang lain dan butuh penyesuaian dengan harapan mereka, kesadaran
baru ini tercermin dalam proyeksi khayalan audiens—keyakinan bahwa orang lain peduli dengan
perilaku mereka dan penampilan tentang
diri mereka sendiri. Jadi, anak-anak praremaja percaya bahwa mereka adalah fokus
perhatian. Karena itu, mereka berusaha sangat keras menjadi seperti teman
sebaya mereka, sehingga mereka tidak akan menonjol.
Ketika anak-anak
mendekati masa praremaja (usia 13-15 tahun), khayalan audiens yang muncul dianggap
sebagai asumsi yang harus diuji terhadap realitas. Sebagai konsekuensi
pengujian ini, remaja secara bertahap mengenali perbedaan antara keasyikan mereka
sendiri dan kepentingan serta keprihatinan pada orang lain. Penyesuaian diri menurun karena remaja
menyadari bahwa, meskipun mereka diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan
beberapa aturan negara, mereka dapat mandiri dalam diri orang lain. Remaja juga
telah berkembang meningkatkan keterampilan sosial dan lebih mengandalkan
penilaian mereka sendiri.
Salah satu
alasan anak praremaja lebih menyesuaikan diri dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya karena meskipun mereka mampu berpikir logis (yaitu, mereka bisa
memperhitungkan bagaimana orang lain akan bereaksi dan mengevaluasi asumsi mereka), mereka belum memiliki pengalaman menguji asumsi mereka terhadap realitas.
memperhitungkan bagaimana orang lain akan bereaksi dan mengevaluasi asumsi mereka), mereka belum memiliki pengalaman menguji asumsi mereka terhadap realitas.
MEKANISME SOSIALISASI KELOMPOK SEBAYA
Mekanisme sosialisasi apakah yang
digunakan kelompok sebaya untuk mempengaruhi perilaku? Metode-metode khas
termasuk penguatan (atau persetujuan dan penerimaan), pemodelan (atau imitasi),
hukuman (atau penolakan dan eksklusi), dan magang (pemula belajar dari pakar).
Penguatan
Penguatan itu meningkatkan perilaku, dan bukan tingkat persahabatan,
telah dibuktikan dalam sebuah studi di mana anak-anak usia 4 dan 5 tahun melakukan tugas-tugas sederhana dengan lebih baik ketika seorang anak mereka tidak suka
memuji kinerja mereka
daripada ketika seorang anak mereka suka melakukannya (Hartup, 1964, 1983).
Penguatan bisa disengaja, namun tetap efektif. Dalam sebuah penelitian
(Patterson, Littman, & Bricker, 1976), beberapa anak TK bereaksi terhadap
agresi fisik (bullying) dengan menjadi pasif, seumpama posisi bertahan, meledak
menangis, memberitahu guru, mengambil milik mereka, atau membalas dengan serangan (agresi).
Ketika korban menanggapi
agresi dengan penguat seperti ketidakpedulian, defensif, atau air mata, agresi
cenderung diulang. Tapi ketika korban menanggapi dengan perilaku proaktif
seperti melapor ke guru, mengambil properti, atau bertindak agresif, penyerang atau pengganggu
cenderung berperilaku berbeda terhadap mantan korban. Kepasifan tanpa disengaja dalam menanggapi agresi, umumnya memperkuat itu terhadap korban,
tindakan berfungsi untuk mengarahkan agresi jauh dari korban.
Hukuman
Cara lain anak-anak saling mempengaruhi
satu sama lain adalah melalui hukuman—menggoda, agresi fisik, atau penolakan
oleh kelompok. Satu hal yang ekstrim dari hukuman tersebut adalah menjadi
korban bullying. Korban biasanya pendiam, pasif, pemalu, dan gelisah, serta mengalami
kesulitan menegaskan diri mereka dalam kelompoknya. Pengganggu biasanya, dominan,
agresif, impulsif, dan pemarah, dan memiliki toleransi frustrasi yang rendah. Bullying
dan viktimisasi memerlukan strategi intervensi orang dewasa, yang akan dibahas
kemudian (Crick, Casas, & Ku, 1999; Olweus, 1993).
Kadang-kadang
anak-anak ditolak atau dihukum oleh teman sebayanya karena sifat fisik (misalnya,
kelebihan berat badan) atau sifat perilaku (misalnya, membual, mendominasi,
atau mengkritik) (Adler & Adler, 1998; Coie, Dodge, & Kupersmidt, 1990;
Parkhurst & Asher, 1992). Konsekuensi dihukum dengan dikeluarkan dan digoda
oleh kelompok sebaya dijelaskan dalam kotak “Teman Sebaya, Kekuasaan, Tingkatan
Sosial, dan Hukuman.” Dinamika sosial inklusi, eksklusi, dan hirarki sosial
akan dibahas nanti.
Magang
Vygotsky (1978)
menyatakan bahwa orang yang berpengetahuan luas, seperti seorang guru atau
pakar sejawat, awalnya memandu pelajar, atau pemula, kegiatan. Secara bertahap,
keduanya mulai berbagi fungsi pemecahan masalah, dengan pemula mengambil inisiatif
dan ahli mengoreksi dan membimbing saat pemula bimbang. Akhirnya, ahli menyerahkan
kontrol dan menjadi audiens yang mendukung.
Sebuah
ilustrasi dari hipotesis Vygotsky mungkin Anda belajar bagaimana naik sepeda
dari seorang teman yang lebih trampil. Teman Anda menunjukkan bagaimana naik sepeda,
bagaimana menjaga keseimbangan Anda, bagaimana mengayuh, dan bagaimana
berhenti. Anda naik sepeda sementara teman anda mendukung Anda. Setelah beberapa
kali jatuh jungkir balik, Anda belajar menyeimbangkan dan mengayuh sepeda
bersamaan, kemudian teman Anda berlari (lari di samping Anda sambil berteriak
menyuruh Anda berhenti).
Vygotsky
percaya bahwa terlibat dalam kegiatan magang tersebut meningkatkan level
perkembangan pemula. Vygotsky menyarankan bahwa batasan-batasan pemula berbohong
di antaranya (1) perkembangan aktual mereka, atau apa yang dapat mereka lakukan
secara mandiri, dan (2) perkembangan potensial mereka, atau apa yang bisa
mereka lakukan ketika berpartisipasi dengan orang lain yang lebih cakap.
Vygotsky menyebut
ruang antara dua batasan pelajar dengan zona perkembangan proksimal (ZPD),
seperti dibahas dalam Bab 2. Sekolah yang menerapkan konsep ZPD dalam struktur tujuan kooperatif
(dibahas dalam Bab 6), kolaborasi sebaya, tutoring sebaya, konseling sebaya,
dan resolusi konflik. Kelompok sebaya memberikan pekerjaan magang untuk belajar
banyak hal, ini seperti disebutkan sebelumnya, dapat positif, netral, atau negatif.
Pengaruh Macrosystem
terhadap Kelompok Sebaya: Tugas-tugas Perkembangan
Tugas-tugas perkembangan, dibahas
dalam Bab 2, adalah pertengahan jalan antara kebutuhan individu dan permintaan
masyarakat. Macrosystem ini mempengaruhi kelompok sebaya untuk memperkuat nilai-nilai
dan tradisi masyarakat. Kelompok sebaya, pada gilirannya, menyediakan tatacara dan
sarana bagi anak-anak untuk mencapai beberapa tugas perkembangan masa
kanak-kanak awal dan menengah, (Duvall & Miller, 1985; Havighurst, 1972;
Zarbatany, Hartmann, & Rankin, 1990), terutama kompetensi sosial: bergaul
dengan orang lain, mengembangkan moral dan nilai, belajar peran sosial dan
budaya dengan tepat, dan mencapai kebebasan pribadi (Rubin, Bukowski, & Parker,
1998).
BERGAUL DENGAN ORANG LAIN
Kemampuan
bergaul berhubungan dengan perkembangan progresif menyangkut tentang melihat
sesuatu dari perspektif lain dan komunikasi lisan (Grusec & Lytton, 1988).
Kemudian, itu tergantung pada peningkatan kemampuan kognitif dan pengalaman
sosial. Beberapa penelitian (Clarke-Stewart, 1992; Lamb, 1998) menunjukkan
bahwa anak-anak muda yang berada di pusat penitipan anak adalah lebih mampu
secara sosial daripada mereka yang dirawat di rumah tetapi juga agresif. Hal
ini kemungkinan karena anak-anak
belajar lebih dini bagaimana “membela” diri mereka sendiri dan bersaing demi mainan dan sumber daya nilai lainnya.
belajar lebih dini bagaimana “membela” diri mereka sendiri dan bersaing demi mainan dan sumber daya nilai lainnya.
MENGEMBANGKAN MORAL DAN NILAI
Perkembangan moral (membedakan kebenaran dari kesalahan) dan nilai-nilai (menentukan apa yang bermanfaat) terjadi dalam lingkungan sosial. Dengan berinteraksi dengan orang lain, anak mengetahui perilaku apa yang dapat dan tidak dapat diterima. Anak biasanya belajar moral dan nilai-nilai dari orang tua dan orang dewasa lainnya melalui instruksi, memberi alasan/pertimbangan, pemodelan, penguatan, dan hukuman. Mereka biasanya belajar moral dan nilai-nilai dari sebayanya melalui pengalaman nyata (learning by doing).
Sebagian besar
dari studi pengembangan moral dan nilai-nilai melibatkan anak-anak usia sekolah
dan remaja, yang mampu mengartikulasikan penilaian tentang dilema hipotetis, seperti
dibahas dalam Bab 11. Namun, penelitian Dunn (1988) pada asal-usul pemahaman sosial,
yang merupakan dasar dari perkembangan moral, menunjukkan bahwa dari 18 bulan anak
memahami bagaimana menyakiti, atau kenyamanan lain. Mereka juga memahami konsekuensi
dari tindakan menyakitkan mereka terhadap orang lain di lingkungan mereka
sendiri, dan dapat mengantisipasi respon orang dewasa terhadap diri mereka
dan kejahatan orang lain. Anak-anak TK memasuki setting kelompok sebaya dengan pemahaman yang belum sempurna mengenai aturan sosial yang dipengaruhi oleh suasana keluarga mereka. Selam anak-anak berkembang, pengalaman kelompok sebaya memperluas pemahaman ini (Rubin, Bukowski, & Parker, 1998).
dan kejahatan orang lain. Anak-anak TK memasuki setting kelompok sebaya dengan pemahaman yang belum sempurna mengenai aturan sosial yang dipengaruhi oleh suasana keluarga mereka. Selam anak-anak berkembang, pengalaman kelompok sebaya memperluas pemahaman ini (Rubin, Bukowski, & Parker, 1998).
Tampaknya,
bahwa kelompok sebaya membantu anak dalam proses
pengembangan moral, sedangkan tingkat
perkembangan moral sangat dipengaruhi oleh gaya pola asuh. Penelitian terbaru
(Bogenschneider, Wu, Raffaeli, & Tsay, 1998) mendokumentasikan pentingnya
hubungan kontingen antara orang tua dan teman sebaya dalam perilaku
moral.
MEMPELAJARI PERAN SOSIAL BUDAYA YANG TEPAT
Meskipun
keluarga menanamkan peran sosial-budaya, seperti kemandirian dan saling ketergantungan,
kelompok sebaya memberikan anak kesempatan untuk mencoba peran yang dipelajari
di rumah (Greenfield & Suzuki, 1998). Dengan cara demikian anak-anak
memperoleh pemahaman tanggung jawab dalam situasi kelompok. Misalnya, apakah
mereka melatih otonomi dan menghormati hak teman untuk memilih dengan bebas (“Aku
ingin bermain Scrabble, game apa yang ingin kau mainkan?”), atau apakah mereka melatih
empati, mengantisipasi keinginan teman sebaya (“Aku tahu kau ingin main Catur,
jadi mari kita main”)? Apakah mereka berkomunikasi secara langsung, dengan cara
tegas (“Aku ingin mencoba sepeda barumu”) atau secara tidak langsung, dengan
cara pasif (“Itu sepeda baru yang bagus, punyamu“)? Apakah mereka bersaing
dengan teman sebaya untuk pengakuan individu atau bekerjasama dengan teman
sebaya untuk pengakuan kelompok? Apakah mereka menghadapi konflik atau
menghindarinya?
Sebuah contoh
bagaimana peran sosial budaya yang tepat dipelajari dapat dilihat ketika
anak-anak yang belum pernah berbagi suatu hal di rumah atau yang belum pernah
mengambil giliran harus belajar melakukannya dalam kelompok sebaya atau kalau
tidak maka akan dikeluarkan. Dari kelompok sebaya, anak menerima umpan balik mengenai
perilaku dan keterampilan mereka; teman sebaya mereka tidak akan ragu memberitahu
mereka ketika mereka bertindak bodoh. Anak-anak tidak hanya belajar peran sosiokultural
kerjasama dan perilaku yang tepat satu sama lain, mereka juga belajar bagaimana
bersaing. Mereka mengevaluasi kemampuan mereka dalam hal apakah mereka bisa berbuat lebih baik atau lebih buruk dari orang lain dalam kelompok tersebut. Mereka juga belajar metode resolusi konflik. Contoh konflik budaya yang melibatkan anak-anak yang telah disosialisasikan oleh keluarga mereka untuk menilai kerjasama dalam kelompok atau tim mencoba untuk berfungsi dengan anak-anak yang telah disosialisasikan kepada persaingan nilai. “Dua imigran pemain Latina berbicara tentang keinginan tim untuk bekerja sebagai satu kesatuan. Mereka mengeluh bahwa anak perempuan Euro Amerika hanya menginginkan diri mereka terlihat baik kadang-kadang bahkan dengan mengorbankan kinerja tim” (Greenfield & Sukuki, 1998, p. 1091).
bersaing. Mereka mengevaluasi kemampuan mereka dalam hal apakah mereka bisa berbuat lebih baik atau lebih buruk dari orang lain dalam kelompok tersebut. Mereka juga belajar metode resolusi konflik. Contoh konflik budaya yang melibatkan anak-anak yang telah disosialisasikan oleh keluarga mereka untuk menilai kerjasama dalam kelompok atau tim mencoba untuk berfungsi dengan anak-anak yang telah disosialisasikan kepada persaingan nilai. “Dua imigran pemain Latina berbicara tentang keinginan tim untuk bekerja sebagai satu kesatuan. Mereka mengeluh bahwa anak perempuan Euro Amerika hanya menginginkan diri mereka terlihat baik kadang-kadang bahkan dengan mengorbankan kinerja tim” (Greenfield & Sukuki, 1998, p. 1091).
Peran Gender,
Pendidikan Seks, dan Aktivitas seksual
Peran gender merupakan peran
sosiokultural yang lain bahwa kelompok sebaya membantu mengajar anak-anak. Anak
laki-laki dan perempuan belajar dari teman sebaya mereka apa yang secara budaya
dapat diterima dan dapat dikagumi (Best, 1983; Pitcher & Schultz, 1983; Thorne,
1993). Misalnya, Jerry, usia 4 tahun, ingin bergabung dengan sekelompok
gadis-gadis yang sedang bermain dengan boneka mereka. Jerry memiliki boneka di
rumah yang ia mandikan dan pasangkan pakaian, sementara ibunya atau ayahnya memandikan
adik bayinya. Ketika Jerry mendekati gadis-gadis, mereka berkata, “Anak
laki-laki tidak bermain dengan boneka!” Tekanan sebaya untuk kesesuaian gender
dan jenis permainan telah diamati mulai sejak dini usia 2 tahun (Fagot, 1985;
Maccoby, 1990, 2000; Serbin, Powlishta, & Gulko, 1993).
Mengenai bahaya
penyakit menular seksual dan konsekuensi dari kehamilan remaja, orang dewasa
perlu “disetel” tentang peran yang dimainkan teman sebaya dan agen sosialisasi
lainnya dalam pendidikan seks. Mereka perlu bicara dengan anak-anak mereka sebelum
mereka mencapai pubertas tentang cinta, pernikahan, seks, dan reproduksi, serta
mereka perlu berkomunikasi sepanjang masa remaja, “dapat ditanya,” tersedia,
dan bersedia menjawab pertanyaan.
Mencapai Kemandirian Pribadi dan Identitas
Seperti yang dibahas sebelumnya,
kelompok sebaya memungkinkan anak-anak menjadi semakin mandiri dari orng dewasa.
“Individu menyulap perbedaan dan sering mempertentangkan gambar diri di antaranya
diri yang
kekanak-kanakan ditunjukkan
kepada keluarga dan diri yang dewasa ditunjukkan kepada
rekan mereka (Adler & Adler, 1998,
h. 198). Selain itu, ketika anak bertambah dewasa, teman sebaya menjadi
sumber dukungan sosial yang semakin penting (Belle, 1989). Dukungan sosial mengacu pada sumber daya (nyata, intelektual,
sosial, emosional) yang disediakan oleh orang lain pada saat dibutuhkan. Dukungan nyata meliputi berbagi
mainan, pakaian, dan uang,
dukungan intelektual meliputi memberikan informasi atau saran; dukungan sosial meliputi
persahabatan, dukungan emosional meliputi mendengarkan dan empati.
Anak-anak
mengembangkan identitas mereka melalui interaksi yang bermakna, dan prestasi dalam
kelompok teman sebaya. Anak-anak mulai melihat teman sebaya sebagai referensi kelompok
dimulai pada sekitar usia 7 atau 8 tahun dan meningkat sampai masa remaja
(Levine & Levine, 1996). Khususnya:
·
Teman sebaya memberikan
validasi diri: “Apakah kamu suka rambutku?” atau “Ayo, mari kita bermain bola,”
atau “Aku punya rahasia untukmu.”
·
Teman sebaya memberikan
dorongan untuk mencoba hal-hal baru: “Aku akan bergabung pramuka jika kamu juga,”
atau “Apakah kamu ingin pergi berkemah denganku dan ayahku?”
·
Teman sebaya memberikan kesempatan
untuk perbandingan: “Aku mengalahkan Sam dalam lomba,” atau “Sally membuat tim,
tapi aku tidak.”
·
Teman sebaya memungkinkan pengungngkapan diri.
Anak-anak lebih cenderung mengungkapkan perasaan terdalam mereka kepada teman sebaya
yang terpercaya daripada orang dewasa (Parker & Gottman, 1989): “Aku jatuh
cinta dengan Brad, aku membiarkan dia menciumku.”
·
Teman sebaya memberikan identitas:
“Saya ingin “populer’ ketika aku masuk SMA tahun depan.”
Pengaruh Cronosystem pada
Kelompok Sebaya: Bermain / Kegiatan
Pengaruh chronosystem pada kelompok sebaya meliputi perubahan dalam struktur, aktivitas, dan hubungan sebagai teman sebaya tumbuh dan berkembang secara psikologis, sosial, dan kognitif Karena anak-diprakarsai bermain adalah kegiatan utama yang terjadi dalam kelompok sebaya, itu dibahas pertama; orang dewasa-diprakarsai diperiksa nanti.
Arti Penting dan Perkembangan Bermain
“Bermain adalah perilaku yang
dinikmati untuk kepentingan diri (Evans & McCandless, 1978, h. 110).
Bermain sangat penting untuk perkembangan karena berbagai alasan. Bermain menurut
Piaget (1962), adalah cara anak-anak belajar tentang lingkungan mereka karena sifat
interaktif mempromosikan konstruksi pengetahuan. Vygotsky (1978) serta Berk dan
Winsler (1995) melihat bermain sebagai situasi imajiner yang diatur oleh
aturan-aturan sosial. Bermain berkontribusi untuk perkembangan dalam arti hal
itu memungkinkan anak untuk memisahkan pikiran dari tindakan dan benda-benda,
dan juga memungkinkan mereka untuk bergerak dari aktivitas impulsif ke tujuan
yang direncanakan dan pengaturan diri (bukan mengambil mainan yang diinginkan,
anak meminta izin untuk bermain dengan itu). Anna Freud (1968) melihat bermain
sebagai cara yang dapat diterima untuk mengekspresikan emosi dan impuls. Groos
(1901) menggambarkan bermain sebagai cara bagi anak untuk melatih keterampilan
yang diperlukan ketika telah dewasa. Berbagai fungsi bermain memungkinkan
terapis dan pendidik untuk mempelajari apa yang anak-anak rasakan dan memahami
dengan mengamati kegiatan bermain mereka.
·
Exploratory. Pada tahun pertama, bayi
mengeksplorasi—menyentuh, mencicipi, dan memanipulasi. Pada tahun kedua,
anak-anak juga mengosongkan, mengisi, menyisipkan, memasukkan dan mengeluarkan,
menarik, menumpuk, dan menggulung. Pada tahun ketiga mereka mengatur, menumpukan,
menggabungkan, memindahkan, menyortir, dan menyebarkan. Manipulasi baru—benda
atau kata—adalah sumber kegembiraan.
·
Testing. Dalam banyak jenis permainan,
anak-anak sebenarnya menguji diri ereka sendiri. Selama tahun kedua, anak-anak
menguji keterampilan motorik mereka—menarik gerobak, mengangkat benda,
memanjat, berlari, dan melompat. Saat anak-anak lebih tua, mereka menguji diri mereka
dalam permainan, bersaing dengan orang lain untuk mengukur keterampilan mereka,
baik fisik maupun intelektual. Mereka juga menguji emosi mereka, seperti takut
dan marah.
·
Model-building. Sekitar usia 4 tahun, bermain
model-building menjadi eksplisit,
dengan blok disusun menjadi bangunan, truk ke dalam lalu lintas jalan raya, dan
hidangan ke dalam pesta teh. Anak-anak mulai menempatkan unsur-unsur pengalaman
mereka bersama-sama dengan cara yang unik.
Kegiatan Bayi / Balita
sebaya (Lahir-2 Tahun)
Kelompok sebaya muncul lebih awal dalam kehidupan anak-anak, meskipun waktunya bervariasi sesuai dengan situasi keluarga, ketersediaan pasangan usia, dan temperamen mereka sendiri dan sosial kompetensi (Ladd, 1999; Parke, 1990). Penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi teman sebaya dipengaruhi oleh hubungan dengan pengasuh. Ketika pengasuhan sensitif dan responsif, bayi belajar cara mengirim dan menafsirkan isyarat emosional, yang membawa kepada hubungan teman sebaya (Mize & Pettit, 1997, Vandell & Mueller, 1995).
Pengamatan kebiasaan
bayi menunjukkan bahwa sejak pada usia 2 bulan bayi
berorientasi terhadap gerakan bayi di samping tempat tidur (Bridges, 1933). Antara 6 dan 8 bulan, bayi melihat dan kadang-kadang menyentuh satu sama lain; antara
9 dan 13 bulan, mereka bisa melawan, terutama karena mainan (Hay, 1985; Vincze, 1971). Hal itu juga ditemukan bahwa selama tahun kedua balita berinteraksi secara positif dengan teman sebaya. Segera setelah konflik karena mainan telah diselesaikan (Hughes, 1998; Rubenstein & Howei, 1976). Mereka meniru satu sama lain (Asendorpf & Baudoniere, 1993) dan menunjukkan kemampuan reaksi (Howes, 1988).
berorientasi terhadap gerakan bayi di samping tempat tidur (Bridges, 1933). Antara 6 dan 8 bulan, bayi melihat dan kadang-kadang menyentuh satu sama lain; antara
9 dan 13 bulan, mereka bisa melawan, terutama karena mainan (Hay, 1985; Vincze, 1971). Hal itu juga ditemukan bahwa selama tahun kedua balita berinteraksi secara positif dengan teman sebaya. Segera setelah konflik karena mainan telah diselesaikan (Hughes, 1998; Rubenstein & Howei, 1976). Mereka meniru satu sama lain (Asendorpf & Baudoniere, 1993) dan menunjukkan kemampuan reaksi (Howes, 1988).
Anak-anak menjadi
semakin mampu berempati dengan orang lain—pertama pada tingkat emosional dan
kemudian pada perilaku. Sebagai contoh, telah ditemukan bahwa, dengan berakhirnya
tahun pertama, bayi sering menangis ketika mereka mengamati bayi lain menangis;
pada pertengahan tahun kedua, mereka menepuk atau memeluk bayi yang menangis,
dan pada akhir tahun kedua, mereka menawarkan jenis bantuan tertentu, seperti
mainan atau plester untuk luka ringan (Band-Aid)
(Saarni, Mumme, & Campos, 1998). Pada saat ini, mereka juga mulai berempati
kognitif. Misalnya, Zahn-Waxler dan Radke-Yarrow (l990) dan Zahn-Waxler,
Radke-Yarrow, Wagner, dan Chapman (1992) menunjukkan bahwa selama tahun kedua respon
anak-anak terhadap penderitaan orang lain menjadi semakin berbeda dan kemampuan
untuk menghibur mereka semakin efektif. Mereka lebih cenderung berempati dengan
keluarga dan teman-teman dibandingkan dengan orang asing dan untuk
mengungkapkan kata-kata empati dan respon mereka dengan sensitif: “Tolong
jangan menangis, saya akan membiarkan Anda bermain dengan boneka saya.”
Kegiatan Masa Anak Usia Dini Sebaya (2-5 Tahun)
Dari usia 2 sampai 5 tahun,
interaksi teman sebaya meningkat dan menjadi lebih kompleks (Rubin, Bukowski, &
Parker, 1998). Kadang sekitar usia 3 atau 4 tahun, anak-anak mulai menikmati
bermain dalam kelompok—pada awalnya, biasanya secara informal dan dasarnya
tidak kekal (Howes, 1988). Anak-anak kecil, bagaimanapun, terbatas pada
teman-teman mereka. Teman bermain datang dari lingkungan langsung atau dari
sekolah jika orang tua bersedia mengajak jalan-jalan naik mobil atau daripada memiliki
teman-teman.
Hubungan sosial
yang sukses tergantung pada kemampuan seseorang untuk mengambil sudut pandang
yang lain, kemampuan untuk berempati, dan kemampuan untuk berkomunikasi.
Umumnya, anak-anak di bawah usia 3 tahun tidak hanya tidak bisa mengambil sudut
pandang lain atau berempati tetapi juga tidak memiliki keterampilan untuk berkomunikasi
dua arah yang efektif. Bahkan meskipun beberapa anak di bawah usia 3 tahun menunjukkan
perilaku prososial, seperti empati, mereka juga menunjukkan perilaku
antisosial, seperti keegoisan dan agresivitas. Menurut Dunn (1988), anak-anak
mulai menunjukkan pemahaman sosial sekitar usia 18 bulan, menurut pengaturan
keluarga. Mereka kemudian harus memiliki pengalaman dengan teman sebaya untuk menerapkan
pemahaman mereka tentang situasi sosial secara efektif.
Kemajuan
perkembangan dalam kognisi dan bahasa memungkinkan anak TK untuk terlibat dalam
interaksi sosial yang semakin kompleks. Mereka berpartisipasi dalam lebih usaha
kooperatif, tetapi mereka juga menunjukkan lebih banyak agresi. Mereka
mengarahkan pembicaraan lebih terhadap teman sebaya mereka dengan baik (Rubin,
Bukowski, & Parker, 1998).
Kegiatan Masa Anak Usia Pertengahan/Pra Remaja Sebaya (6-12 tahun)
Dalam pertengahan tahun, interaksi
sosial mencakup meningkatnya teman sebaya dari sekitar 10 persen untuk anak
usia 2 tahun sampai lebih dari 30 persen untuk anak usia 6-12 tahun. Sisanya
dihabiskan dengan saudara kandung, orang tua, dan orang dewasa lainnya (Rubin,
Bukowski, & Parker, 1998). Pengaturan interaksi teman sebaya juga berubah. Selama
pertengahan tahun sejak diawasi (rumah dan TK) untuk lebih terawasi (lingkungan).
Permainan
anak-anak mencerminkan budaya di mana mereka tinggal. Sebagai contoh, menurut
Parker (1984), permainan kompetitif, seperti sepak bola, basket, dan sepak
bola, memberikan praktek invasi teritorial, permainan kartu memberikan praktek
dalam menggertak dan menghitung peluang. Semua permainan melibatkan memori,
manipulasi, dan strategi. Jadi permainan memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk
mempraktekkan keterampilan mereka yang akan diperlukan ketika dewasa (Hughes,
1998).
Saat ini,
anak-anak umumnya menghabiskan lebih sedikit waktu dalam permainan terorganisir
yang spontan (tongkat-bola, petak umpet, kelereng, dongkerak) dibandingkan generasi
mereka atau dua tahun lalu, dan lebih banyak waktu di depan komputer dan video game.
Demikian juga., kasti dan sepak bola versi Sandlot telah memberikan cara, bagi
banyak anak, untuk mengorganisir olahraga yang diawasi oleh orang dewasa,
seperti Liga Kecil atau sepak bola. Salah satu alasannya adalah keamanan, orang
tua takut membiarkan anak-anak mereka bermain tanpa pengawasan karena isu lalu
lintas, kejahatan, dan penculikan. Alasan lain adalah untuk memberikan waktu
yang terstruktur setelah sekolah, terutama ketika kedua orang tua bekerja.
Walaupun anak-anak mendapatkan banyak keterampilan fisik, kognitif, dan sosial dari
orang dewasa yang mengorganisir permainan, mereka mendapatkan sedikit
kesempatan pengalaman mengembangkan aturan mereka sendiri dan menegakkan mereka
dengan teman sebayanya.
KEGIATAN REMAJA SEBAYA (Umur 13 tahun ke atas)
Remaja suka “nongkrong” —berbicara,
menonton TV, mendengarkan musik, bermain video game, dilihat, melihat siapa
lagi yang “menggantung” dengan siapa, menunggu sesuatu terjadi (Jaffe, 1998).
Ketika tidak terlibat di sekolah, atletik, atau kegiatan komunitas, remaja
menghabiskan banyak waktu kerja unuk penampilan mereka—pakaian, make up,
perhiasan, seni tubuh—dan berhubungan dengan teman-teman melalui pager, ponsel, dan internet. Pada awal
remaja, sebagian besar kegiatan terjadi dengan teman sebaya sesama jenis,
sedangkan masa remaja selanjutnya, kegiatan yang menarik dan memasukkan anggota
lawan jenis yang disukai, seperti pesta, acara olahraga, dan konser.
INTERAKSI
KELOMPOK SEBAYA
Bentuk-bentuk hubungan anak-anak
saat berinteraksi dengan teman sebaya, serta alasan beberapa anak yang berhasil
dalam berteman, bervariasi berdasarkan berbagai faktor.
PERKEMBANGAN PERSAHABATAN
Seperti kegiatan anak-anak yang terlibat
ketika mereka berkembang, hubungan sosial mereka dan persahabatan menjadi lebih
kompleks dan interaktif sesuai usia.
Masa Balita sampai Anak
Usia Dini
Howes (1988) mempelajari interaksi
sosial dan formasi persahabatan anak-anak muda dalam latar pengasuhan anak. Meskipun
kompetensi sosial anak-anak muda dibatasi oleh perkembangan kognitif mereka,
pengalaman awal dengan teman sebaya tampaknya meningkatkan keterampilan interaksi.
Dia menemukan bahwa balita usia 1-2 tahun membedakan teman diantara teman
bermain yang ada. Persahabatan ini ditandai dengan respon emosional (Kebahagiaan
saat melihat satu sama lain atau menghibur saat stres). Anak-anak usia 2-3
tahun mampu membedakan antara emosi dan memainkan bagian persahabatan dengan mendekati teman
sebaya yang berbeda ketika butuh kesenangan dan ketika ingin berlari atau
bergulat.
Selman dan
Selman (1979) mewawancarai lebih dari 250 individu antara
usia 3 dan 45 tahun untuk mendapatkan perspektif perkembangan pada pola persahabatan. Mereka menggambarkan lima tahapan berikut:
usia 3 dan 45 tahun untuk mendapatkan perspektif perkembangan pada pola persahabatan. Mereka menggambarkan lima tahapan berikut:
1.
Pertemanan sesaat—anak usia
dini (4 tahun)
2.
Bantuan satu arah—awal masa
kanak-kanak menengah (4-9 tahun)
3.
Dua arah, suasana kerjasama
yang terbuka—pertengahan masa kanak-kanak (6-12 tahun)
4.
Intim, hubungan berbagi bersama
satu sama lain—pertengahan masa kanak-kanak sampai remaja (9-15 tahun)
5.
Persahabatan saling ketergantungan
yang otonom—masa remaja sampai dewasa (12 tahun ke atas)
Masa Anak Usia Dini
Kebanyakan anak di bawah usia 4 tahun
dan beberapa yang lebih tua pertama berada pada tahap pertemanan sesaat. Mereka tidak
mampu mempertimbangkan sudut pandang orang lain dan hanya dapat memikirkan apa
yang mereka inginkan dari persahabatan tersebut. Teman didefinisikan sebagai seberapa dekat mereka tinggal: “Dia temanku, ia tinggal di sebelah.”
Atau mereka ditentukan oleh harta benda mereka: “Dia temanku, dia memiliki
sebuah rumah boneka dan satu set ayunan.”
Masa Anak Usia Dini sampai Pertengahan
Tahap kedua adalah bantuan satu
arah. Anak usia 4-9 tahun lebih mampu menceritakan perbedaan antara perspektif
mereka sendiri dan orang lain. Namun, persahabatan didasarkan pada apakah
seseorang melakukan apa yang diinginkan anak lakukan: “Dia bukan teman saya
lagi, dia tidak ingin bermain mobil-mobilan” Youniss dan Volpe (1978), dalam
sebuah studi tentang persahabatan anak usia 6-14 tahun, menemukan bahwa
pemikiran anak usia 6-7 tahun tentang persahabatan dalam hal bermain bersama
dan berbagi barang material: “Dia bermain singkap rok dengan saya,” atau “Dia
selalu berbagi permen dengan saya.”
Masa Kanak-kanak Pertengahan
Pada tahap ketiga—dua arah, suasana
kerjasama yang terbuka—anak usia 6-12 tahun mengakui persahabatan yang
melibatkan memberi dan menerima. Namun, mereka melihat persahabatan seperti melayani
kepentingan individu daripada mempromosikan kepentingan bersama: “Kita adalah teman.
Kami melakukan hal-hal untuk satu sama lain.” Youniss dan Volpe (1978)
menemukan bahwa anak usia 9 dan 10 tahu menganggap teman sebagai orang-orang
yang berbagi dengan satu sama lain: “Teman adalah seseorang yang bermain dengan
Anda ketika Anda tidak memiliki orang lain untuk bermain” Pada usia ini,
anak-anak menekankan kesamaan antara teman-teman, serta kesetaraan dan
kesetimbangan: “Kita semua ingin mengumpulkan kartu bisbol. Kita menjualnya dan
memberikan dua kali lipat untuk teman-teman kita kehilangan tersebut. Tidak ada
yang membual.” Anak-anak ini mulai mengakui bahwa persahabatan didasarkan pada pergaulan—berbagi
kepentingan, gagasan, dan perasaan.
Masa Kanak-kanak
Pertengahan sampai Remaja
Tahap keempat adalah seorang teman
karib, hubungan saling berbagi satu sama lain. Anak-anak usia 9-15 tahun dapat
menunjukkan persahabatan sebagai entitas dalam dirinya sendiri. Terus menerus,
hubungan dijalankan dengan menggabungkan
lebih dari sekedar melakukan suatu hal untuk satu sama lain; persahabatan sekarang
cenderung dihargai untuk kepentingan dirinya sendiri dan mungkin melibatkan rasa
posesif dan irihati: “Dia adalah sahabat terbaikku. Bagaimana bisa dia pergi ke
bioskop dengan Susan?” Youniss dan Volpe (1978) melaporkan bahwa anak usia 12 dan
13 tahun dalam penelitian mereka membawa prinsip-prinsip sebelumnya mengenai kesetaraan
dan timbal balik lanjut: “Jika seseorang menusuk saya, teman saya membantu saya,”
atau “Teman saya tidak meninggalkan saya pergi dengan beberapa anak-anak
lainnya.”
Masa Remaja sampai Dewasa
Akhirnya, adanya otonomi persahabatan
yang saling ketergantungan. Sekitar usia 12 tahun, anak mampu menghormati
kebutuhan teman-teman mereka demi ketergantungan dan
otonomi: “Kita suka melakukan banyak hal bersama-sama, dan kita berbicara tentang masalah kita, tapi kadang-kadang Jason hanya suka menyendiri. Saya tidak keberatan.”
otonomi: “Kita suka melakukan banyak hal bersama-sama, dan kita berbicara tentang masalah kita, tapi kadang-kadang Jason hanya suka menyendiri. Saya tidak keberatan.”
Apakah ada
perbedaan gender dalam persahabatan? Umumnya, anak perempuan mengacu pada
sahabat terbaik sebagai seorang teman bicara dan yang lebih “setia” daripada
dengan anak laki-laki lebih merujuk kepada sifat persahabatan sahabat terbaik
dan berbagi kegiatan (Lever, l976, Maccoby, 1990, 2000).
Apakah ada
hubungan antara kemampuan berteman di masa kecil dan penyesuaian emosional di
masa dewasa? Sebuah tinjauan literatur tentang hubungan teman sebaya memverifikasi
hubungan antara problematika interaksi teman sebaya masa kecil dan kesulitan
penyesuaian di masa remaja dan dewasa (Bagwell, Newcomb, & Bukowski, 2000;
Kupersmidt, Coie, & Dodge, 1990). Pada bagian berikutnya, kita melihat
beberapa alasan penerimaan dan penolakan teman sebaya, serta cara-cara untuk
membantu anak-anak menjadi lebih sukses dalam berteman. Umumnya, memiliki teman
dan diterima oleh kelompok sebaya terkait dalam hal anak-anak yang sangat
disukai oleh teman sebaya memiliki banyak kesempatan untuk berteman. Namun,
tidak semua anak-anak yang ditolak oleh kelompok sebaya kekurangan teman-teman.
Anak-anak yang ditolak oleh kelompok tetapi yang memiliki setidaknya satu teman
memiliki lebih sedikit masalah di kemudian hari daripada mereka yang ditolak
dan juga tidak memiliki teman (Howes, 1988; Rubin, Bukowski, & Parker,
1998).
Penerimaan/penyia-nyiaan/Penolakan oleh Teman Sebaya
Pentingnya diterima, diabaikan,
atau ditolak oleh teman sebaya menjadi perhatian publik pada tahun 1999 ketika
dua remaja yang ditolak menembak 12 siswa dan seorang guru di Columbine High
School di Colorado. Rupanya, para atlet yang berulang kali menggoda mereka
adalah target pembalasan. Dimana anak-anak mudah diterima oleh kelompok? Menurut
beberapa penelitian (Asher, Gottman, & Oden, 1977, Dodge, 1983; Hartup,
1983; Rubin, Bukowski, & Parker, 1998), penerimaan anak-anak oleh teman
sebaya dan interaksi yang sukses dengan mereka bergantung pada kesediaan mereka
dan kemampuan untuk bekerja sama dan berinteraksi secara positif dengan orang
lain. Anak-anak yang populer dengan teman sebaya mereka cenderung sehat dan
kuat, mampu berinisiatif, dan sikap tenang yang baik. Mereka juga mudah
beradaptasi dan menyesuaikan diri, serta dapat diandalkan, penuh kasih sayang,
dan perhatian.
Pola interaksi keluarga
memainkan peran dalam kesuksesan integrasi anak-anak ke dalam kelompok (Hartup,
1989, 1996). Dalam keluarga, anak-anak belajar mengekspresikan dan menafsirkan berbagai
emosi, seperti kesenangan, ketidaksenangan, kasih sayang, dan jarak. Anak-anak
juga belajar merespon untuk setiap ekspresi emosional untuk mengatur perilaku
mereka menurut permintaan keluarga. Dengan demikian, kompetensi sosial, yang
mengarahkan penerimaan teman sebaya, dimulai dalam keluarga.
Terapi-sosial Teman Sebaya
Penilaian sosiometrik
mudah dilakukan, yaitu menanyakan siswa beberapa pertanyaan secara anonim
tentang satu sama lain dan mentabulasikan hasilnya. Contohnya “Siapa teman terbaikmu?”
“Dengan siapa Anda lebih suka dan tidak suka dalam mengerjakan proyek?” dan “Dengan
siapa Anda akan berbagi rahasia?” Untuk anak TK, hal itu dapat diimplementasikan
dengan menunjukkan setiap foto anak dan menanyakan yang dia sukai dan tidak
sukai dalam bermain. Anak dengan paling banyak “disukai” memilih yang populer, sedangkan
anak dengan paling banyak “tidak disukai” memilih yang diabaikan atau ditolak. Hasil
sosiometrik dapat membantu orang dewasa memfasilitasi inklusinya anak-anak yang
diabaikan atau ditolak ke dalam kelompok. Dengan pengamatan yang cermat, orang
dewasa dapat menilai pada area mana anak-anak yang diabaikan atau ditolak perlu
intervensi (Kemple, 1991): (1) sosial (Apakah anak itu bekerja sama? berbagi? bermegah?), (2)
emosional (Apakah anak itu menafsirkan emosi orang lain dengan benar?), (3)
bahasa (Apakah anak itu memberi respon yang relevan terhadap komunikasi teman
sebaya? keinginan berkomunikasi dengan jelas?), atau (4) fisik (Apakah anak itu
mengambil jalan agresi untuk memecahkan konflik?). Orang dewasa dapat memilih strategi
intervensi dengan tepat
Bagaimana Guru Dapat Membantu Anak yang Ditolak Memperoleh
Penerimaan
1.
Aktifkan kompromi. Untuk anak-anak agar secara
efektif menerapkan keterampilan sosial yang baru dipelajari di dalam kelas,
guru harus mampu memberikan bimbingan dengan segera (on the spot) dalam berbagai situasi (Kemple, 1991). Misalnya, dalam
situasi konflik, guru berfungsi sebagai mediator, mendorong setiap anak untuk
menyuarakan perspektifnya dan menghasilkan solusi potensial mengarah ke
kompromi (Bullock, l992; Stein & Kostelnick, 1934).
2.
Aktifkan komunikasi. Guru juga dapat
memberikan bimbingan dengan segera untuk membantu dengan pola-pola komunikasi: “Joey,
saya tidak berpikir Jackson memahami mengapa kamu tidak ingin bermain pemadam
kebakaran, bisakah katakan padanya mengapa? Mungkin kamu bisa mengatakan apa
yang kalian bisa lakukan bersama-sama.”
3.
Aktifkan interpretasi. Guru dapat
membimbing anak-anak yang memiliki kesulitan menafsirkan keadaan emosi orang
lain, “Lihatlah wajah Sarah, apakah kamu pikir dia suka bila kamu mendorongnya?”
Terkadang guru mungkin harus menjelaskan perilaku anak-anak terhadap kelompok
dalam rangka memfasilitasi penerimaan. Misalnya, seorang anak yang pura-pura
senang dengan kelompok yang sedang memainkan permainan mungkin berbuat demikian
agar dimasukkan: “Aku pikir Trey berusaha untuk mencari tahu bagaimana ia dapat
menjadi seorang sopir ambulans, jika kamu tidak butuh satu yang lain, mungkin
dia bisa menjadi ruang darurat dokter.”
4.
Aktifkan keterlibatan keluarga. Upaya guru
untuk membantu anak yang tidak disukai menemukan tempat dalam kelompok sebaya
kadang-kadang mungkin lebih sukses jika keluarga anak tersebut yang terlibat
(Sandstrom & Coie, 1999). Guru dapat mendiskusikan keterampilan yang diajarkan
dan meminta dukungan orang tua, serta saudara dan tetangga teman sebayanya (Kemple,
1991)
Dinamika Kelompok Sebaya dan Hierarki Sosial
Kelompok sebaya merupakan Microsystem
dengan peran dinamis dan hubungan berdampak pesertanya. Berbeda dengan
mierosystems keluarga, sekolah, dan masyarakat, kelompok sebaya umumnya adalah
hy bimbingan orang dewasa tidak terbebani. Kelompok sebaya menerapkan mekanisme
sosial informal di mana anak-anak menciptakan norma-norma, status, dan aliansi;
membangun konsekuensi, dan mengembangkan perasaan tentang diri mereka sendiri
(Thompson, Cohen, Er Rahmat 2002). Mekanisme ini sosial diilustrasikan dalam
pembahasan Lord of the Flies and Survivor
dalam prolog.
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih