Pendidikan Moral di SD
PENDIDIKAN MORAL DI SEKOLAH DASAR
(Perspektif Peningkatan Moralitas Bangsa)
By: ASWASULASIKIN
A.
Latar Belakang
Sekolah dasar (SD) merupakan satuan pendidikan yang menyelengarakan
pendidikan enam tahun. Sekolah dasar merupakan bagian dari pendidikan dasar
Sembilan tahun sebagaimana terdapat dalam PP nomor 28 tahun 1990 tentang
pendidikan dasar. Dengan demikian sekolah dasar merupakan salah satu bentuk
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan dasar memiliki peran dan
tanggung jawab yang besar dalam menyikapi perkembangan
aktual terhadap munculnya perilaku destruktif, anarkis dan radikalis. Untuk itu para pemangku pendidikan, terutama Kepala
Sekolah, Guru, Pemimpin Perguruan Tinggi dan dosen harus memberikan perhatian dan pendampingan lebih besar kepada
peserta didik dalam membentuk dan
menumbuhkan pola pikir dan prilaku yang berbasis kasih sayang, toleran terhadap realitas keanekaragaman yang dibenarkan
oleh peraturan dan perundangan.
Di Indonesia penyelenggaraan sekolah dasar berpijak pada beberapa
peraturan perundang-undangan sebagai landasan yuridis. Ada tiga komponen
perundang-undangan yang dijadikan landasan yuridis penyelenggaraan sekolah
dasar, baik sebagai satuan pendidikan maupun dalam kerangka sistem pendidikan
nasional, yaitu (UUD 1945), undang-undang RI nomor 2 tahun 1989 tentang sistem
pendidikan nasional dan PP No. 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar.
Pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk
mengembangkan kehidupanya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan
anggota manusia serta mempersiapkan siswa mengikuti sekolah menengah (Ibrahim, 2006:
6).
PP ini secara
ekplisit menggaris bawahi tujuan pendidikan dasara sesungguhnya adalah
membentuk peserta didik menjadi insan dengan kepribadian yang utuh. Konsepsi
anak indonesia yang berkepribadian yang utuh, sebagai cermin dari perilaku
kemanusiaan sejati, antara lain tercermin dalam Asta Citra Anak Indonesia
(ASCAI). Menurut Damanhuri (dalam Sudarwan. 2006) ASCAI merujuk perilaku anak indonesia adalah (1)
rajin beribadah, (2) Hormat dan bhakti kepada orangtua dan guru (3) jujur dan
cakap dalam membawa diri serta peka akan seni (4) pandai membaca dan menulis
(5) terampil, penuh prakarsa, rajin berkarya mengejar prestasi, dan berjiwa
gotong royong, (6) mandiri, penuh semangat berdisiplin an bertanggung jawab (7)
sehat dan berhati riang, penuh keyakinan dalam usaha menghadapi masa depan (8)
cinta tanah air.
Pada jenjang
sekolah dasar, kurikulum dan metode belajar mengajar perlu dikembangkan dan
diarahkan untuk menanamkan budaya dan sadar akan Ilmu pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK) sejak dini. Pada jenjang ini pendidikan lebih mengarah pada pembentukan
kemampuan dasar untuk belar (basic
learning tools).
Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam
sistem pendidikan nasional kita sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik
menjadi pribadi utuh yang dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur. Namun, pada
kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi pada tataran kebijakan
pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hal ini terbukti pada kurikulum
sekolah tahun 1984 yang secara eksplisit telah menghapuskan mata pelajaran budi
pekerti dari daftar mata pelajaran sekolah. Oleh karena itu, aspek-aspek yang
berkaitan dengan budi pekerti menjadi kurang disentuh bahkan ada kecenderungan
tidak ada sama sekali.
Jika penghapusan mata pelajaran budi
pekerti tersebut karena dianggap telah cukup tercakup dalam mata pelajaran
agama, tentu hal itu tidak demikian adanya. Walaupun budi pekerti merupakan
bagian dari mata pelajaran agama yang salah satu bahasannya adalah akhlak/budi
pekerti, pembahasan mengenai hal tersebut pasti memperoleh porsi yang amat
sangat kecil. Hal ini mengingat cukup banyak aspek yang dibahas dalam mata
pelajaran agama dengan alokasi waktu yang amat minim yaitu dua jam dalam
seminggu. Oleh karena itu, sentuhan aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi
amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus berkembang,
teknologi berlari pesat. Arus informasi manca negara bagai tak terbatas.
Hasilnya, budaya luar yang negatif
mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak
didasari akhlak/budi pekerti cepat ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran
menjadi budaya baru yang dianggap dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme
ada dimana-mana, emosi meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang
sendiri, tawuran antar siswa pada tingkat sekolah menengah menjadi marak,
narkoba, pergaulan bebas dan lain-lain menjadi bagian hidup yang akrab dalam
pandangan sebagian dari diri masyarakat kita sendiri.
Hal lain yang juga menunjukkan adanya
indikator budi pekerti/moral yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus
pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur. Dalam hal
ini, bisa saja terjadi pelaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak-anak.
Tindak kejahatan mencuri, menodong bahkan membajak bus umum semua pelakunya
adalah pelajar sekolah.
Karakter
pendidikan yang ada di Indonesia saat ini adalah karakter pendidikan yang masih
berorientasi pada kompetensi dan bukan standar kualitas lulusannya. Pemerintah
masih menggunakan Ujian Akhir Nasional sebagai standar untuk menetukan
kelulusan siswa. Dan setiap tahun, standar yang ditetapkan cenderung meningkat.
Itulah mengapa sekolah-sekolah sekarang cenderung ‘memaksa’ murid-muridnya
belajar keras demi mempertahankan peringkat sekolah mereka.
Ketika sekolah-sekolah
mulai hanya berkonsestrasi pada bagaimana cara untuk mendapatkan peringkat
terbaik, maka pelajaran yang dipadatkan adalah pelajaran-pelajaran yang
berkaitan dengan apa yang akan diujikan. Oleh sebab itu, pendidikan moral
sepertinya harus rela ‘terhapus’ dari deretan pelajaran di sekolah. Memang,
secara teoritis, masih ada pelajaran yang namanya Kewarganegaraan. Namun,
apakah kita yakin
pelajaran Kewarganegaraan adalah suatu pelajaran yang memberikan nilai-nilai
kehidupan, pendidikan moral dan pembentukkan karakter bagi anak didik?.
Inilah sebabnya
mengapa kejadian-kejadian yang mencoreng nama pendidikan di Indonesia seperti yang di paparkan
diatas bisa terjadi waktu. Ketika pendidikan moral mulai hilang, maka hal yang
cenderung terjadi adalah peningkatan sikap-sikap negatif karena kepribadian
yang tidak terbentuk, misalnya pemberontakkan, sikap fanatik, tidak sopan, dan
lain sebagainya.
Fenomena-fenomena seperti dipaparkan
di atas tentu tidak boleh dibiarkan. Anak menjadi generasi seperti apa kelak
anak-anak jika dibiarkan dalam kondisi tersebut. Jika tidak dapat dicarikan
jalan keluarnya, akan terbentuk generasi yang bermoral/berbudi pekerti rusak.
Jika generasi kini rusak, bagaimana dengan pemimpin bangsa di masa mendatang.?
B.
Memaknai Moral
Kata moral berasal dari Latin mores,
jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.
Dalam bahasa Arab, dipakai kata akhlak yang mempunyai beberapa makna,
yaitu: tabiat, perangai, adat istiadat, dan perilaku (Mansyur Ali
Rajab, 1983: 11). Dalam Bamus Besar Bahasa Indonesia, moral juga diartikan
sama dengan susila atau budi pekerti yakni penentuan baik buruk terhadap
perbuatan dan tingkah laku (Poerwadarminta, 1991). Secara terminologi,
moral adalah sesuainya tindakan manusia dengan ide-ide umum yang
diterima, mana yang baik dan wajar baik yang datang dari Tuhan maupun manusia (Lihat Hamzah
Ya’kub, 1972: 311).
Moral atau akhlak merupakan esensi dari
semua ajaran yang diturunkan Tuhan, sehingga dalam konteks ini,
banyak para tokoh agama yang memberikan definisi
tentang hal ini. Ibnu Miskawaih (932- 1030 M) dan Al-Ghazali (1058- 1111
M), dua tokoh pendidikan Islam misalnya, menyebut akhlak sebagai sikap
batin yang mampu mendorong manusia secara spontan untuk melakukan suatu kebaikan tanpa
adanya pertimbangan lebih dahulu.
Dalam pengertian umum, moral adalah hal
yang berhubungan erat dengan prinsip-prinsip pertimbangan tentang
yang benar dan salah dalam kaitannya dengan prilaku atau karakter manusia. (Abd
Hasim, 2000). Dalam konteks pendidikan, entitas pendidikan moral berarti guru
menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran serta mampu mendemontrasikannya
melalui sikap dan prilaku tentang kebaikan dan kebenaran dari karakter dan
tingkah laku manusia. Idealnya, guru harus mampu “mempersonifikasikan”
nilai-nilai moral pada sikap dan tingkah lakunya (Abdul Hasim, 2000).
Bila hal itu terwujud, maka tujuan pendidikan moral yakni
melahirkan suatu perbuatan dan tindakan yang baik peserta didik niscaya
terwujud.
Oleh karena moral juga bersangkut paut
dengan aspek psikologis dan bersandar pada keyakinan (perasaaan hati
tentang benar dan salah), maka membangun moral peserta didik tidaklah semudah membangun pengetahuannya. Dengan kata lain, pendidikan moral
atau akhlak perlu waktu, kontinuitas
(keistiqamahan) dan kerjasama dengan pranata pendidikan lainnya,
yakni keluarga dan masyarakat.
Dengan pengertian dan pemahaman
demikian, dapat disimpulkan, moral merujuk kepada perasaaan, sikap,
dan tanggung jawab yang berlandaskan pada pertimbangan benar-salah
yang didasari keyakinan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan
Ki Hajar Dewantara, bahwa keluhuran budi pekerti manusia itu
menunjukkan sifat batin manusia, seperti kesadaran tentang kesucian, kemerdekaan,
keadilan, ketuhanan, cinta kasih, kedamaian, sosialisme dan sebagainya.
Sifat batin tersebut hendaknya dimiliki setiap peserta didik sebagai dasar
dan pedoman prilaku keseharian mereka. Kemudian, perilaku bermoral atau
tidak, sangat ditentukan oleh sikap dan keyakinan atas kebenaran atau kebajikan
dari peserta didik sendiri. Karenanya pemahaman tentang moral, transformasi
dan internalisasi nilai-nilai moral dalam proses pendidikan adalah suatu keharusan (Syaukani
HR, 2006: 112-13).
Sesuai dengan teori perkembangan moral,
pendekatan Kohlberg
dalam pendidikan moral disebut pendekatan kognitif-developmental.
Asumsi dasar dari pendekatan model tersebut adalah: (1) pendidikan moral memerlukan gagasan filosofis tentang moralitas,
(2) perkembangan moral melalui tahap-tahap kualitatif, dan (3)
rangsangan terhadap perkembangan moral didasarkan
pada rangsangan terhadap pemikiran dan pemecahan masalah (John de Santo,
1995: 65).
C.
Problematika Pendidikan
Moral
Pendidikan moral adalah bimbingan
lahir-batin secara bulat dan utuh untuk mencapai kesempurnaan kepribadian manusia, yang
dapat dimanifestasikan dalam wujud perangai,
kata-kata dan perbuatan untuk dirinya dan
untuk orang lain atas dasar suara hati yang jujur dan benar. Pendidikan moral
dalam kehidupan manusia, terlaksana secara kodrati, yakni dilakukan oleh orang-orang dewasa atas nilai-nilai baku yang
berlaku umum dan berlaku khusus dalam lingkungan sosial tertetu. Dalam budaya
Indonesia, pendidikan moral alamiah
tersebut sering tertuang dalam petuah-petuah orang tua dan orang-orang
tua (Abd.Hasim, 2000).
Sementara itu, dalam konteks pendidikan
formal di Indonesia, dimensi moral mendapat kedudukan penting. Hal
ini dapat dilihat dalam arah dan tujuan pendidikan nasional. Tujuan
pendidikan di Indonesia seperti tercantum dalam UU
Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Dari rumusan tujuan pendidikan nasional
tersebut ditegaskan bahwa iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
merupakan landasan sistem nilai yang sejati dan harus dianut oleh setiap
pendidik. Sikap dan perilaku para pendidik yang dilandasi iman dan
takwa ini diharapkan berpengaruh kepada diri para peserta didik, baik melalui transfer
of knowledge maupun melalui building of character.
Persoalannya, muatan moral dalam tujuan
pendidikan di atas terkesan hanya berlaku pada tataran normatif saja. Hal ini
bisa dilihat dari berbagai tindak amoral yang bisa menggelinding
menuju dekadensi moral dalam dunia pendidikan Indonesia. Pada
tingkat lanjut, kegagalan moral dalam dunia pendidikan menjadi perlambang
kegagalan pendidikan nasional dalam merealisasikan fungsi dan tujuan pendidikannya.
Sekedar menyebut contoh, tawuran antar
pelajar, seks bebas di areal kampus dan kost mahasiswa, pembajakan kendaraan
umum, kasus bunuh diri siswa-siswi yang gagal UN, perkelahian massal
dan demontrasi mahasiswa yang tidak santun adalah bukti kegagalan
pendidikan dalam meningkatkan kualitas moral peserta didik.
Kegagalan pendidikan tidak hanya di
lingkungan persekolahan saja, tetapi merambah ke seluruh dimensi
bangsa ini. Guru Besar Filsafat UI, Prof. Dr. Soerjanto
Poespowardojo pernah menyatakan, bangsa Indonesia saat ini benar-benar sedang
menghadapai dekadensi budaya dan dekadensi moral. Nilai-nilai bangsa Indonesia
yang dipupuk dalam tradisi dan sejarah perjalanan bangsa ini tersapu bersih
oleh penguasa rezim Orde Baru yang kontra moral: ambisi terhadap jabatan,
kekayaan, kedudukan dan kehormatan serta serakah untuk terus berkuasa. Bangsa Indonesia
saat ini tidak hanya mengalami proses pendangkalan
nilai yang dimiliki, dihayati dan dijunjung tinggi, tetapijuga tengah mengalami pergeseran fungsi dan kedudukan nilai
tersebut. Privasi, ketenangan,
interaksi dan keamanan masyarakat yang dulu berjalan dengan baik kini dirasakan
semakin hambar, rawan terhadap kekerasan, kecemasan terhadap kerusuhan dan rasa
tidak aman. Dekadensi moral juga
tercermin dalam sikap dan perilaku anggota masyarakat yang tidak dapat
menghargai harkat dan martabat orang lain. Biasanya, seseorang lebih suka memaksakan hak dirinya kepada orang lain atau sebaliknya terlalu bebas memanfaatkan haknya
tanpa menghiraukan yang lain.
Padahal, hak dan kebebasan seseorang dibatasi oleh hak dan kebebasan orang
lain. Interaksi dalam kehidupan di masyarakat menjadi hanya sebuah kamuflase
dan simbolisme belaka.
Berbagai tindak kekerasan dan prilaku
amoral tersebut disinyalir akar permasalahanannya adalah “hilangnya”
dimensi budi pekerti atau moral dalam dunia pendidikan kita. Oleh
karena itu, wacana yang mengemuka beberapa tahun belakangan
ini adalah perlunya budi pekerti diajarkan kembali di dunia pendidikan
nasional, khususnya dunia persekolahan. Dengan melihat kondisi moralitas
pendidikan di atas, H.A.R Tilaar menilai, secara umum, setidaknya ada tiga hal
yang menyebabkan perlunya dibangkitkan kembali pendidikan budi
pekerti dalam pendidikan nasional. Pertama, melemahnya ikatan keluarga; kedua,
kecenderungan negatif dalam kehidupan pemuda; ketiga, suatu
kebangkitan kembali perlunya nilai-nilai etik (H.A.R. Tilaar, 1999:
74-75).
D.
Korupsi dan Moralitas pendidikan
Siapapun yang mengamati fenomena
sosial dan kemanusiaan di Indonesia akhir-akhir ini, akan terbangkit nuraninya
untuk mencermati dua hal. Pertama gejala tereduksinya
moralitas dan nurai sebagian dari SDM di Indonesia, dengan bukti empirik masih
tingginya angka kebocoran di lingkungan departemen atau instansi setingkat.
Sebuah bukti bahwa kinerja aparat borikrasi masih berada melampui border area garis sepadan moralitas yang
diidealisasikan kepada pengemban amanat rakyat. Kedua arus masuk generasi muda kelembaga pendidikan setiap jenjang
sebagai bagian dari diskursus pengembangan SDM indonesia seutuhnya. Lalu apa
relevansi mengaitkan keduanya. Menurut (Sudarwan, 2006) Orang-orang yang
terpilih dalam mengemban amanat rakyat, terutama mereka yang duduk dilingkungan
birokrasi, diidealisasikan sebagai SDM terdidik dan memiliki persyaratan yang
khas, misalnya jika dibandingkan dengan tukang becak, penarik delman, tukang
cangkul dan sebagainya.
Aksi-aksi korupsi oleh
para pejabat birokrasi di Indonesia ini sangat mengerikan, penyuapan terhadap
hakim sudah menjadi rahasia umum, kita kerap mendengar kasus suap di lembaga
peradilan, pengacara yang menyuap saksi, korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintahan mulai dari tingkat desa samapi setingkat petinggi negara dan
lain-lain.
Perilaku koruptif yang banyak ragamnya, karena karupsi tidak
selalu identik dengan “pengambilan” uang tunai secara paksa, amnupulatif atau
dalam kemasan lainya. Dalam peraktik perdagan ilegal, misalnya para penyelundup
membentuk usaha yang besar dan kuat secara kucing-kucingan atau berkolusi
dengan pihak-pihak berokrasi yang mau berkompromi, mereka memiliki jaringan
yang sangat kuat di pemerintahan dan memiliki sistem jaminan sosial yang
tinggi.
E.
Filsafat Moral
dan Pendidikan
Proses pendidikan
berada pada tatanan moral atau etika. Kajian mengenai moral merupakan bidang
telaah filsafat moral. Filsafat moral dapat dirumuskan sebagai cabang filsafat
yang mengkaji bagaimana kita harus bertindak atau dengan kata lain bagaimana
kita harus hidup.
Filsafat moral lahir dari filsafat
manusia yang melihat hakekat manusia itu sebagai makhluk individu sekaligus
sebagai makhluk sosial. Kedua aspek kehidupan manusia itu disatukan oleh moral
tentang kebersamaan hidup manusia untuk mewujudkan kemanusiaanya. Kajian
filsafat mengenai kehidupan bersama manusia adalah filsafat politik (HR.
Tilaar, 2009)
Teori moral dapat bersifat dua pendapat:
a) pandangan mengenai tingkah laku manusia yang berdasarkan “conduct-based moral teory”. Masalah
sentral adalah tindakan yang benar, lurus, atau mengenai kewajiban-kewajiban
manusia. b) Teori yang menekankan pada nilai-nilai mulia (virtue); yang di tekankan disini adalah akhlak mulia dan karater
moral.
Menurut H.R. Tilaar (2009) “Conduct-based moral teory” menekankan
pada hak asasi manusia, kewajiban politis serta kewibawaan negara, pembagian
sumber-sumber sosial yang adil, kemerdekaan untuk berekpresi, kemerdekaan
beragama, kemerdekaan ambil bagian dalam kehidupan politik.
F. Moralitas Pendidikan dan Gejala Kontra Moralitas
Prof. Schoorl (1982) berpendapat, bahwa peraktik-peraktik
pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat
moralitas tinggi. Jika diidealisakan pendapat di atas dalam realita kehidupan
maka arus siswa akan memasuki pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan
perguruan tinggi sudah mulai ditanamkan pendidikan moral (nilai) baik secara
sistematis pada kurikulum pendidikan ataupun melalui bimbingan dari para guru
dan dosen. Hal itu akan menjadi modal utama lahirnya sumber daya manusia (SDM)
yang terampil, dan memiliki moralitas tinggi jika nanti menjadi pemimpin atau
menjadi jajaran terdepan dalam suatu birokrasi. Dan tatkala mereka duduk dalam
jajaran birokrasi tingkat manapun, komitmen moralnya seyogyanya semakin kokoh
dengan diikat oleh sumpah jabatan. Sayangnya disekolah-sekolah tidak tertutup
kemungkinan terjadinya praktik penyimpangan atas moral. Misalnya adanya
pelecehan seksual oleh oknum guru, adanya peredaran narkoba di sekolah, adanya
NEM palsu, ijazah palsu, nilai ujian palsu, test masuk mulai dari jenjang
sekolah dasar yang disenyalir adanya sogok-menyogok dan banyak lagi
penyimpangan moral yang terjadi di sekolah. Oleh karena itu pendidikan moral
dan agama disekolah muali dari jenjang SD sampai perguruan tinggi, atau dalam
keluarga. Dan moralitas pelaku pelaku pendidikan harus dimapankan secara
berlanjut dan konsisten dari zaman kezaman.
Sudarwan (2006) pendidikan sejatinya merupakan pembentukan
moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan
pemanusiaan yang bermoral. Kata lainya pendidikan adalah moralisasi masyarakat,
terutama peserta didik. Pendidikan yang dimaksud disini lebih dari sekedar
sekolah (education not only education as
schooling) melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasrakatan (education as community network).
Sejatinya pendidikan persekolahan menfokuskan diri pada kemampuan nalar
intelektual dan keterampilan motoris . pembentukan nalar emosional dan afeksi
termasuk perilaku bermoral merupakan bagian dari tugas pendidikan dalam makna
jaringan kemasrakat tersebut.
Pembentukan nalar nasional dan afeksi ini memang bagian dari
tuas sekolah yang praksisnya termuat secara tersembunyi di dalam kurikulum (hidden curriculum). Upaya ini sering
berbenturan dengan denga perilaku manusia yang terjadi pada hubungan
kemasyarakatan sehingga muncullah pertentangan moralitas secara diametral.
beberapa contoh pertentangan moralitas pada masyarakat:
a. Saran-saran
guru mengenai pentingnya berlalu-lintas, berbenturan dengan realitas perilaku
sopir-sopir angkutan kota, masyarakat umum dan bahlan polisi sendiri yang
melanggar lalu-lintas sendiri.
b. Penyuluhan
anti narkoba berbenturan dengan rayuan
dan tawaran penjaja narkoba dimasyarakat, yang pada tahap awal kerap memberi
layanan geratis sampai penggunanya ketagihan.
c. Peran
guru agar tidak terlibat tawuran atau perkelahian pelajar berbenturan dengan
kondisi masyarakat yang dengan picu kecil saja cepat meradang, bahkan bentrokan
antar kampungpun terjadi jerana hal-hal sepele.
d.
Pesan-pesan
guru tentang bahaya pergaulan bebas (free
sex) dan razia buku-buku berbau porno serta razia HP yang menyimpan film
porno, berbenturan dengan tampilan media cetak, media elektronik, CVD,
Internet, atau media lainya yang menggambarkan simbol-simnol yang merangsang
nafsu syahwat.
e.
Keinginan
untuk merangsang agar anak tampil kreatif dan egaliter berbenturan denga
erilaku guru dan orang tua yang masih cendrung otoriter.
Gambaran di atas realitas disekitar kita, yang dicaci secara
lisan dan tulisan namun kerap dilakukan dan dipandang sebagai kewajaran pada
sebuah kelompok masyarakat. Tatkala sebagian masyarakat telah mengklaim sebagai
masyarakat modern, distorsi perilaku dan pelanggaran moral akan terus menerus
terjadi. Bersamaan dengan itu, setidaknya pada tataran verbal upaya untuk
meningkatkan moralitas suatu masyarakat agar selalu menjaga moralitas juga
terus-menerus dilakukan. Karena moralitas adalah suatu keharusan bagi
masyarakat. Moralitas berfungsi untuk membeimbing tingkah laku masyarakat,
termasuk pelajar dan mahasiswa, dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan sosial di sekitar mereka.
Secara universal dan hakiki moralitas merupakan aturan atau
kaidah baik dan buruk simpati atas penomena kehidupan dan penghidupan orang
lain dan keadilan dalam bertindak. Manusia yang bermoral berarti manusia yang
memiliki peribadi yang utuh secara rohani dan jasmani, serta mengetahui
bagaimana dia seharusnya bertindak untuk mengetgahui dan bagaimana seharusnya
dia bertindak untuk menjadi peribadi yang ideal dimata masyarakat. Dengan demikian
tingkah laku yang bijak atau arif akan membawa seseorang kedalam kehidupan yang
baik sebagai individu atau anggota masyarakat dimanapun dia berada. Mereka ini adalah orang-orang yang keseharian
hidupnya bermaslahat bagi individu dan anggota masyarakat pada umumnya.
Moralitas, moralisasi, tindakan amoral dan demoralisasi
merupakan realitas hidup dan ada disekitar kita. Menurut Roos Poole (1993)
terkadang konsep moralitas itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan
raib didunia ini. Konsep moralitas itu akan menjadi konsep konsep yang bisa
kita akui memiliki tempat disalam suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan
memuaskan bagi kita. Kebermaknaan itu tercermin dari keamanan, kenyamanan,
kebersahabatan, kebertanggungjawaban, ketenagan, tanpa prasangka, kepastian
bertindak, memegang kesepakatan, dan keceriaan hidup. Inilah dambaan dan
tuntuian kita untuk hidup dalam suasana asali moral (moral state of nature) dimana tuntutan-tuntutan moralitas dan
aspirasi-aspirasi kita sendiri terakoodasi secara normal didalam kehidupan
bermasyarakat.
G. Jenis-Jenis Kesadaran
Membangun kesadaran untuk tetap pada tatanan sopan santun,
beradap dan bermoral menjadi tugas semua orang. Menurut sudarwan (2006)
kesadaran individu atau kelompok dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama kesadaran naif dengan ciri-ciri
perilaku orang yang terlalu menyederhanakan dan meromantisasikan realitas.
Orang yang memiliki kesadaran naif berusaha mereformasi individu-individu yang
tidak adil dengan asumsi bahwa sistem yang mewadahinya bias bekerja secara
cepat. Adalah kesadaran naif pula, jika seseorang atau sekelompok orang
melakukan romantisme sejarah bahwa anak-anak sekarang harus dibawa kembali
kepada pola pergaulan masa lampau. Kemudian kesadaran naif pula ketika meraka
selalu beranggapan bahwa mutu pendidikan masa lalu lebih baik dari mutu
pendidikan masa kini. Kedua kesadaran
magis dimana sebuah tatanan perilaku dimana orang-orang beradaptasi atau
menyesuaikan diri secara fatalistik dengan sistem yang ada. Ketiga kesadaran keritis adalah sebuah kesadaran
menggunakan nalar dan perilaku selektif aebagai dasar untuk bertindak. Justifikasi
dan asumsi-asumsi dasar dalam nalar umum dijadikan sebalum memutuskan suatu
tindakan. Keempat kesadaran
emosional adalah kesadaran yang bersumber dari hati yang paling dalam dengan
mempertimbangkan dampak sosial dan psikologis ketika akan melakukan tindakan. Kelima Kesadaran spiritual adalah sebuah
kesadaran yang dibangun atas dasar kemampuan integensi dan emosi serta
spiritual itu sendiri sehingga menemukan jati diri sebagai makhluk tuhan yang
cinta akan fitrah.
Pendidikan formal, informal dan kemasyarakatan merupakan
pranata masyarakat bermoral dengan berpartisipasi secara ideal. Partisipasi
anak didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran bukan alat pendidikan
melainkan intinya. Sebagai bagian dari hubungan kemasyarakatan masyarakat
pendidikan perlu mengemban amanat tugas pembebasan, berupa penciptaan norma,
aturan, prosedur dan kebijakan baru. Orang tua dan guru harus mampu membebaskan
anak dari dari aneka belenggu bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan
norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu
membangun kesadaran melalu proses dialogis yang mengantar individu secara
bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensi mereka. Sangat kurang
menguntungkan jika anak-anak diberikan pilihan tunggal ketika mereka mengalami
fenomena normatif termasuk fenomena moral.
Gagasan di atas penting karena kita kerap terjabak pada
jawaban-jawaban praktis daripada pemecahan masalah secara dialektis. Pembebasan makna
trnasformasi atas sebuah sistem yang saling berkaitan dan kompleks, serta
reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi-konsekuensi negatif
dari perilakunya. Seorang guru harus memiliki moralitas dan integritas yang
tinggi. Karena guru berperan penting dalam proses penyadaran, sebuah proses
yang bersifat internal psikologis, da perubahan-perubahan bagaimana individu
memahami dunia mereka.
H.
Mengemas Pendidikan Moral
Di Sekolah Dasar
Berbagai variasi pendapat tentang
bagaimana mengemas pendidikan moral dalam dunia pendidikan.
Sedikitnya ada dua pendapat dalam konteks ini. Pertama, pendapat
yang berkaitan dengan efektivitas penerapan pendidikan moral
di sekolah. Kedua, pendapat yang berkaitan dengan
teknik pelaksanaan pendidikan moral; apakah diintegrasikan dalam pendidikan agama
ataukah diajarkan secara mandiri.
1. Efektivitas Pendidikan Moral: di Keluarga atau Masyarakat.
Kemerosotan
nilai-nilai moral yang melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas
dari tingkat keefektivan penanaman nilai-nilai budi pekerti, baik di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat. Efektivitas pendidikan budi pekerti
yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini masih diperdebatkan.
Pendapat yang berkembang, sekolah bukanlah tempat utama dalam
transfer nilai-nilai moral. Kunci keberhasilan pendidikan moral terletak pada
peran keluarga dan masyarakat. Pendapat demikian beralasan pada beberapa hal:
a. Pendidikan moral yang “diajarkan” di
sekolah baru menyentuh aspeka-spek kognitif (pengetahuan), belum pada aspek edukatif dan
implementatif.
b. Moral merupakan aktivitas watak yang
selalu mengiringi kehidupan manusia, maka pendidikan moral
menghendaki adanya kebiasaan yang istiqamah dari setiap individu pendidik dan
peserta didik. Hal ini tidak bisa maksimal dilakukan di sekolah, karena
justru bagian terbesar waktu peserta didik dan pendidik adalah di lingkungan
keluarga dan masyarakat.
c.
Kecenderungan peraturan sekolah yang
tidak ketat terhadap pelanggaran tindak kekerasan dan amoral yang
dilakukan oleh peserta didik yang berimplikasi pada pengabaian peraturan dan
tata tertib sekolah oleh peserta didik.
d. Lingkungan interaksi di sekolah tidak
selektif. Peserta didik bebas bergaul dengan siapa saja, tanpa
mempertimbangkan, apakah teman-temannya memiliki integritas moral atau tidak.
Persoalan-persoalan
tersebut muncul, bermuara pada bergesernya pemahaman terhadap istilah
pendidikan sekolah. Menurut Abdul Hasim (2000), makna
pendidikan telah direduksi sedemikian rupa sehingga tidak berbeda dengan
pengajaran. Padahal, pendidikan dan pengajaran memiliki wilayah
garapan dan pencapaian berbeda. Pendidikan merupakan proses penyampaian
nilai-nilai dan menuntut tumbuhnya budi pekerti yang adab, sedangkan
pengajaran merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan untuk menuntut
gerak pikiran serta melatih kecakapan peserta didik!siswa, yang terwujudkan
dalam berbagai mata pelajaran atau bidang studi agar menjadi orang
pandai, berpengetahuan dan cerdas. Dengan demikian, pengajaran lebih mengarah
kepada transfer of knowledge. Oleh karena itu, budi pekerti atau moral niscayanya inklusif
dalam proses pendidikan.
Penyederhanaan makna pendidikan,
dilakukan bukan hanya oleh masyarakat awam pada umumnya, tetapi kalangan
pendidik pun (guru, dosen) mulai “meninggalkan” substansi makna mendidiknya.
Para guru sering merasa telah cukup, ketika jam kewajiban mengajarnya
dilaksanakan; urusan aspek afektif (emosional) dan konatif
(pekerti) peserta didik yang menjadi dasar sarana infiltrasi nilai-nilai moral dianggap
bukan urusannya.
Moral yang sering disinonimkan dengan
akhlak atau budi pekerti sering diasumsikan sebagai dasar karakter
seseorang. Moral atau budi pekerti yang baik akan
tercerminkan dalam sikap dan perilaku yang baik pula. Dengan demikian,
proses pendidikan yang di dalamnya terkandung pengertian building of
character sejatinya adalah juga pembentukan moral atau budi
pekerti.
Kemudian, paradigma pendidikan
moral di dunia persekolahan pada kenyataannya seringkali berbenturan
dengan paradigma pendidikan lain yang lebih kuat, semisal paradigma link and match, yang
mengedepankan pemberdayaan manusia
pendidikan ke arah penguasaan ilmu dan tekhnologi canggih menuju era industrialisasi dan
globalisasi, sehingga tanpa sadar pendidikan mengalami reduksi makna
menjadi suatu proses yang lebih mementingkan
tenaga kerja trampil, lulusan siap pakai dan sumberdaya berkualitas ketimbang lulusan (out-put) yang
mempunyai budi pekerti (moral, watak,
akhlak) mulia yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat yang
beradab.
Dalam kaitan dengan pendidikan
moral, Kohlberg menawarkan metode diskusi ala Socrates yang
membahas tentang isu-isu moral (John de Santo, 1995: 66). Dalam
metode tersebut guru menawarkan permasalahan moral untuk dibahas oleh siswa
melalui metode diskusi. Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melihat dan menganalisis
permasalahan moral dari perspektif dirinya, kepentingannya, norma dan nilai di
masyarakat.
Pada akhirnya siswa harus
menentukan keputusan apa yang akan diambil oleh siswa. Apabila
Kohlberg menawarkan isu moral fiktif, maka untuk konteks bangsa Indonesia perlu
dikemukakan isu-isu moral kontemporer yang benar-benar terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini yang perlu ditekankan adalah anak memiliki pengalaman yang beranekaragam dalam
masalah sosial. Anak juga harus dihadapkan pada permasalahan moral
dengan sudut pandang yang berbeda. Dengan
demikian beragamnya permasalahan moral, beragamnya sudut pandang dalam
memecahkan masalah moral akan merangsang perkembangan moral anak menuju
ke tahap yang lebih tinggi.
Nilai-nilai dari kehidupan manusia menurut Kohlberg
dipercaya sebagai nilai-nilai universal bagi
seluruh manusia adalah: hukum dan aturan (law and rules), hati nurani (conscience),
kasih sayang (personal roles of affection), kewibawaan (authority),
keadilan (civil right), perjanjian, kepercayaan, dan keadilan
(contract, trust, and justice exchange), hukuman (punishment), nilai-nilai
hidup (the value of life) hak milik (property
right and values), dan kebenaran (truth) (Reimer, et all,
1983: 84).
Bagi Kohlberg, prinsip yang paling inti bagi
perkembangan pertimbangan moral dalam pendidikan adalah keadilan. Keadilan,
penghargaan utama terhadap nilai dan
persamaan derajat, merupakan tolok ukur yang mendasar dan universal. Penggunaan keadilan sebagai prinsip, menjamin
kebebasan dalam berkeyakinan, menggunakan konsep moralitas yang dapat
dibenarkan secara filosofis dan didasarkan
atas fakta psikologis dari perkembangan manusia (John de Santo, 1995: 67).
2. Pendidikan Moral Efektif di Sekolah
Terlepas dari berbagai persoalan
dan pendapat di atas, Emile Durkheim seorang tokoh pendidikan moral, justru menegaskan
bahwa sekolah mempunyai fungsi yang sangat
urgen dan misi khusus untuk menciptakan makhluk bermoral, yang dibentuk sesuai
kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu
ia memusatkan sekolah sebagai titik sentral pendidikan moral. Menurutnya, seharusnya sekolah –sebagai roda penggerak
pendidikan nasional diberi peranan besar dalam pembinaan dan perkembangan moral
anak. Bila tidak demikian, dapat
menyebabkan aspek kebudayaan, sesuatu yang sangat penting akan hilang Dalam hal ini Durkheim beralasan:
Pertama, meskipun
keluarga merupakan tempat yang paling tepat dan efektif dalam
membangkitkan dan mengatur perasaan-perasaan mendasar yang sederhana
dan merupakan dasar moralitas, dan lebih umum lagi perasaanperasaan
yang berkaitan dengan hubungan-hubungan pribadi yang paling sederhana,
namun keluarga bukanlah lembaga yang didirikan dengan tujuan mendidik
anak untuk dapat memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat.
Kedua, tahap
sekolah (khususnya SD) adalah tahap di mana anak mulai meninggalkan
lingkungan keluarganya dan memasuki lingkungan yang lebih luas.
Tahap ini sejatinya adalah saat kritis dalam pembentukan sikap moral. Karena,
sebelum tahap tersebut anak masih terlampau muda, perkembangan intelektualnya
masih labil. Kehidupan emosionalnya masih terlalu sederhana dan
belum berkembang. Ia belum memiliki dasar intelektual yang diperlukan untuk
dapat memahami gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang cukup kompleks yang
mendasari moralitas. Oleh karena itu pada tahap inilah anak mulai diberikan
pendidikan moral, walaupun materi yang diberikan masih bersifat umum.
Sebaliknya, bila tahap kedua (usia sekolah SD) berlalu tanpa meletakkan
dasar-dasar moralitas, maka dasar-dasar moralitas itu tidak akan pernah tertanam dalam diri
anak. Berdasarkan pendapat Durkheim di atas,
pendidikan moral bukanlah diberikan dalam lingkungan keluarga dan taman
kanak-kanak, karena pertimbangan usia
anak yang belum matang secara intelektual dan emosional, tetapi pendidikan moral hendaklah dipusatkan sejak
anak memasuki sekolah dasar (SD). Apalagi pada tahap tersebut merupakan tahap
antara usia kanakkanak dan dewasa.
Dalam implementasinya, pendidikan
moral dengan pemahaman sebagai pendidikan perilaku yang menuntut
keteladanan di sekolah akan efektif jika terdapat adanya model dan
keistiqomahan dari para pendidik. Sikap dan perilaku
pendidik sebagai cermin budi pekertinya tidak mungkin untuk dikamuflase. Mengingat,
harga yang harus dibayar terlalu mahal.
Dengan kata lain, pendidikan
moral menuntut kejujuran para pendidik. Kejujuran para
penyelenggara pendidikan khususnya guru/dosen sejatinya
merupakan proses penyampaian nilai moral yang paling efektif, sebab kejujuran
merupakan pangkal kebenaran dan kebajikan yang merupakan esensi
nilai moral. Dengan demikian, kejujuran para pendidik akan sangat bermakna bagi
para peserta didik. Jika para pendidik melakukannya, maka proses
pendidikan moral atau budi pekerti sudah dimulai dan insya Allah akan berhasil dengan baik.
Ketika keharusan
pendidikan moral telah disepakati pelaksanaannya di dunia
persekolahan, maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana teknis
pelaksanaannya? Terpisah secara mandiri, ataukah diintegrasikan
ke dalam mata pelajaran lain, khususnya pendidikan agama ?
Pendapat yang menghendaki
pengajaran pendidikan moral diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran lain, khususnya pendidikan agama beralasan karena muatan
moral dan agama saling bersinergi. Tujuan pendidikan agama dan moral
sebenarnya tidak terlalu berbeda, yaitu dalam kerangka menghasilkan manusia
pendidikan yang berkepribadian, yakni bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bertanggung jawab, berwawasan lingkungan, arif bijaksana dan berkepedulian
sosial tinggi. Agama adalah sumber moral. Pembinaan moral sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan agama diasumsikan dapat menjadi
sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif baik yang internal maupun eksternal.
Sementara itu, pendapat yang
mengatakan pendidikan moral harus diajarkan secara mandiri beralasan kepada:
(1) Implementasi pendidikan agama yang ada selama ini hanya mendapat
bobot jam pelajaran amat minim (hanya dua jam/minggu) dan (2) Materi pendidikan
moral yang diintegrasikan kepada materi pendidikan agama
seringkali terdesak oleh materi-materi lain pendidikan agama, semisal
akidah/teologi, hukum, sejarah, dan sebagainya.
Sebenarnya, perbedaan tersebut
dapat dikompromikan dengan menarik benang merah bahwa wilayah
pendidikan moral ini dapat saja dijadikan mata ajar tersendiri
atau terintegrasi dengan mata pelajaran lain seperti agama, bahasa, sejarah dan
sebagainya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah substansi moral
ada dalam semua mata pelajaran. Tinggal bagaimana guru mengemasnya
sehingga dimensi moral dapat dihadirkan secara seimbang kepada anak di samping
dimensi intelektual.
Guru di samping sebagai
transformator pengajaran juga berperan dalam dimensi yang lebih luas yakni
membimbing dan membina pribadi peserta didik sebagai bagian
dari kegiatan pendidikan. Jadi, diharapkan hasil pendidikan yang
sejati tentunya tidak ditakar semata-mata berdasarkan angka-angka, tetapi juga dari
integritas moral dan kepribadian peserta didik.
Dengan demikian, perdebatan
mengenai apakah budi pekerti dijadikan mata pelajaran tersendiri atau
diintegrsikan ke dalam mata pelajaran agama, tidaklah terlalu
penting. Yang penting justru, para pendidik (guru/dosen) harus mampu
“menyusupkan” nilai-nilai moral kepada anak didik pada setiap sikap dan
perilakunya, termasuk tentunya ketika mereka mengajar dan mendidik di kelas.
4. Kurikulum Pendidikan Moral pada
sekolah dasar
Kurikulum pendidikan moral
pada sekolah dasara didasarkan pada dimensi moral dari nilai-nilai moralitas
kehidupan yang tumbuh dua sumber yaitu bahan pembelajaran serta hubungan
antara guru dan siswa (Reimer, et all., 1983). Dalam kaitan dengan interaksi dan hubungan
antara guru-siswa, kita mengenal istilah kurikulum tersamar atau hidden
curriculum.
Pandangan mengenai kurikulum tersamar mendapat
merupakan pengaruh dari pandangan sosiologi
fungsional yang dikembangkan oleh Emile Durkheim. Pandangan ini
menegaskan bahwa pengaruh yang tidak kelihatan dari kelangsungan hidup masyarakat menuntut proses terbentuknya lembaga
manusia dan memberikan nilai atau
kebijaksanaan yang tidak tampak secara langsung.
Dalam pandangan tersebut unsur
keteladanan merupakan faktor yang sangat penting. Guru harus mampu menghadirkan
dirinya sebagai contoh moral dari nilai-nilai moralitas masyarakatnya. Di
samping memberikan contoh kongkrit, unsur keteladanan dapat menumbuhkan sebuah
atmosfir yang kondusif dalam rangka transformasi moralitas.
Istilah kurikulum tersamar dalam
pendidikan moral menunjuk pada suatu kenyataan bahwa sekolah telah terlibat dalam
pendidikan moral. Keterlibatan sekolah dalam pendidikan moral tidak secara
eksplisit tertuang dalam struktur program
pengajaran dan tidak dirumuskan tujuan dan metode yang dipergunakan. Akan tetapi keterlibatan sekolah tampak dalam
menciptakan suasana pendidikan yang
mendukung bagi tumbuhnya moralitas yang baik bagi siswa-siswanya. Jadi dalam
hal ini sekolah berperan sebagai transfer
of value khususnya nilai-nilai moralitas yang baik dan luhur. Hal ini akan
lebih efektif daripada sekadar indoktrinasi nilai tanpa contoh nyata dari para
gurunya.
KESIMPULAN
Sekolah dasar mempunyai fungsi
yang sangat urgen dan misi khusus untuk menciptakan manusia
bermoral, yang dibentuk sesuai kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu,
sekolah terutama sekolah dasar merupakan titik sentral pendidikan bagi moral.
Seharusnya sekolah sebagai roda penggerak pendidikan nasional diberi peranan
besar dalam pembinaan dan perkembangan moral anak. Bila tidak
demikian, dapat menyebabkan aspek kebudayaan yang merupakan sesuatu
aspek yang sangat penting bisa jadi akan hilang.
Meskipun keluarga merupakan
tempat yang paling tepat dan efektif dalam membangkitkan
dan mengatur perasaan-perasaan mendasar yang sederhana dan merupakan
dasar moralitas, dan lebih umum lagi perasaan-perasaan yang berkaitan dengan
hubungan-hubungan pribadi yang paling sederhana, namun keluarga bukanlah
lembaga yang didirikan dengan tujuan mendidik anak untuk dapat memenuhi
tuntutan-tuntutan masyarakat.
Tahap sekolah Sekolah Dasar (SD) adalah tahap di mana
anak mulai meninggalkan lingkungan
keluarganya dan memasuki lingkungan yang lebih luas. Tahap ini sejatinya adalah saat kritis dalam pembentukan sikap
moral. Karena, sebelum tahap tersebut anak masih terlampau muda, perkembangan
intelektualnya masih labil. Kehidupan emosionalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Ia belum memiliki dasar
intelektual yang diperlukan untuk
dapat memahami gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan yang cukup kompleks yang
mendasari moralitas. Oleh karena itu pada tahap inilah anak mulai diberikan
pendidikan moral, walaupun materi yang diberikan masih bersifat umum.
Sebaliknya, bila tahap kedua (usia sekolah SD) berlalu tanpa meletakkan
dasar-dasar moralitas, maka dasar-dasar moralitas itu tidak akan pernah
tertanam dalam diri anak.
Dalam implementasinya, pendidikan moral dengan
pemahaman sebagai pendidikan perilaku yang menuntut keteladanan di
sekolah akan efektif jika terdapat adanya
model dan keistiqomahan dari para pendidik. Sikap dan perilaku
pendidik sebagai cermin budi pekertinya tidak mungkin untuk dikamuflase. Mengingat, harga yang harus dibayar
terlalu mahal. Dengan kata lain, pendidikan
moral menuntut kejujuran para pendidik. Kejujuran para penyelenggara
pendidikan khususnya guru sejatinya merupakan proses
penyampaian nilai moral yang paling efektif, sebab kejujuran merupakan pangkal kebenaran dan kebajikan yang merupakan esensi
nilai moral
http://afdhalilahi.blogspot.com/2015/04/tempat-kursus-website-seo-desain-grafis.html
BalasHapus