Kebijakan Pendidikan Anak Putus Sekolah



Kebijakan Pendidikan Anak Putus Sekolah
di Indonesia
By. Aswasulasikin, Desyandri, Umar M. Sajim 

A.      Pendahuluan
Pada masa seperti sekarang ini pendidikan merupakan suatu kebutuhan primer, dimana orang-orang berlomba untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin dan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS). Hal ini dilakukan agar dapat mengarungi kehidupan yang serba canggih dan dapat mengikuti kuatnya pengaruh globalisasi yang merembah seluruh bidang kehidupan. Dan oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan sebagai salah satu investasi masa depan adalah suatu usaha yang sangat memegang perenan penting. Pendidikan akan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi orang-orang yang cerdas dan dapat memanfaatkan dan menykapi seluruh kesempatan dalam memenuhi dan memperjuangkan kehidupan. Dengan kata lain, orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan akan menjadi budak globalisasi, yang mengombang-ambingkan kehidupannya dalam ketidakmampuan baik secara moril dan materil.
Pendidikan merupakan pondasi utama kebudayaan untuk membangun peradaban sebuah bangsa. Arti penting kesadaran pendidikan menentukan kualitas kesejahteraan sosial lahir batin masa depan. Pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkan generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan.
“Pendidikan sebagai salah satu kunci penting dalam proses perkembangan untuk memajukan suatu bangsa dapat dikatakan demikian manakala tingkat pendidikan suatu negara dikatakan tinggi, setidaknya peradaban dan pola pikir masyarakat di negara tersebut haruslah tinggi pula”.

Dirasakan atau tidak, pendidikan merupakan faktor penting dalam memartabatkan negara maupun meningkatkan kemajuan secara majemuk sebuah negara. Tanpa pendidikan, kemajuan sebuah bangsa akan semakin pudar tergerus oleh maraknya perkembangan zaman yang menuntut pemahaman keilmuan yang satu-satunya jalan adalah dengan meningkatkan
taraf pendidikan tersebut.
Rendahnya tingkat dan kesadaran akan pentingnya pendidikan di Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah guna memajukan peradaban dan tingkat kehidupan yang lebih baik dan mandiri. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan bangsa Indonesia. Salah satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah). Selain tingginya angka putus sekolah, rendahnya minat anak bahkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dirasakan masih sangat kurang. Adapun satu hal pokok di atas dapat menjadi satu alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang memang bila ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah saja yang perlu berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua harus memahami benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun sebagai anggota dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
Kelangsungan hidup bangsa kedepan berada ditangan anak-anak dimasa sekarang. Jika menginginkan kesenangan dimasa yang akan datang maka anak juga memperoleh haknya dimasa sekarang. Misalnya tempat bermain, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita, dan perjuangan bangsa.
Disamping itu, anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan. Pada kenyataan dimasyarakat tidak semua kebutuhan untuk anak terpenuhi. Salah satunya dibidang pendidikan. Didalam pendidikan Terdapat banyak anak putus sekolah (formal). Keadaan lingkungan yang kurang mendukung, ekonomi, geografi, sosial ekonomi menjadi faktor penyebab anak putus sekolah. Putus sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak pernah berakhir. Masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan.
Hal ini juga sejalan dengan amanat yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada salah satu butir yang tercantum disana dijelaskan bahwa adanya pencerdasan kehidupan bangsa, jadi bagaimna sekarang sikap pemerintah dan masyarakat harus dapat menyikapi hal tesebut, karena secara tidak langsung orang yang tidak menyenyam pendidikan formal akan dekat dengan kebodohan dan kemiskinan. Dampak kemiskinan itu terjadi karena daya nalar orang dan mental orang yang tidak perpendidikan sangatlah berbeda dengan orang yang berpendidikan. Jangankan untuk mencari atau melamar pekerjaan untuk membaca dan menulis saja mereka kesulitan. Dan dari sisi mental mereka yang tidak mengenyam pendidikan akan merasa malu dan minder untuk berkompetisi dengan orang yang mengenyam pendidikan. Pada akhirnya mereka akan tersisih karena ketrbatasan mereka tersebut. Jadi secara garis besar pendidikan itu sangat penting untuk menunjang karir dan cita-cita di masa depan. Selain itu juga dapat merubah pola atau karakter hidup didalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Rendahnya tingkat dan kesadaran akan pentingnya pendidikan di Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah guna memajukan peradaban dan tingkat kehidupan yang lebih baik dan mandiri. Rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia mendorong timbulnya berbagai permasalahan sosial yang kian hari semakin meresahkan dan berdampak secara global terhadap kemajuan bangsa Indonesia.
Salah satu faktor yang dapat menjadi tolak ukur rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia adalah tingginya angka putus sekolah anak usia produktif (usia sekolah). Selain tingginya angka putus sekolah, rendahnya minat anak bahkan orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dirasakan masih sangat kurang. Adapun satu hal pokok di atas dapat menjadi satu alasan betapa rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia yang memang bila ditelaah lebih mendalam bukan hanya pemerintah saja yang perlu berpikir jauh, namun masyarakat dan tentunya para orang tua harus memahami benar betapa pentingnya pendidikan untuk bekal hidup maupun sebagai anggota dalam sistem tatanan masyarakat yang berbangsa dan bernegara.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,berhak mendapat pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan tehnologi seni dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya”.

Kelangsungan hidup bangsa kedepan berada ditangan anak-anak dimasa sekarang. Jika menginginkan kesenangan dimasa yang akan datang maka anak juga memperoleh haknya dimasa sekarang. Misalnya tempat bermain, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya. Sebagai perwujudan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa. Anak merupakan bagian dari generasi muda, penerus cita-cita, dan perjuangan bangsa. Disamping itu, anak merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan perhatian dan perlindungan dari berbagai ancaman dan gangguan agar supaya hak-haknya tidak terabaikan. Pada kenyataan dimasyarakat tidak semua kebutuhan untuk anak terpenuhi. Salah satunya dibidang pendidikan. Didalam pendidikan Terdapat banyak anak putus sekolah (formal). Keadaan lingkungan yang kurang mendukung, ekonomi, geografi, sosial ekonomi menjadi faktor penyebab anak putus sekolah. Putus sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak pernah berakhir. Masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan.
Tetapi disisi lain ada sebagian masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak, baik dari strata tingkat dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. Selain itu juga ada sebagian masyarakat yang sudah dapat mengenyam pendidikan namun pada akhinya terputus di tangah jalan. Permasalahan ini menjadi tanggungjawab kita semua, apalagi institusi terkait dalam program pemberdayaan dan tindak lanjut anak-anak yang putus sekolah.
Jika diperhatikan dan diamati permasalahan tersebut, mungkin ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengenyam pendidikan atau yang putus sekolah seperti diantaranya kesulitan ekenomi keluarga, keadaan rumah tangga yang tidak berjalan baik, permasalahan lingkungan yang mendorong anak untuk tidak bersemangat dalam mengikuti pendidikan, dan kurangnya dorongan yang terdapat pada diri anak untuk bersekolah, dan faktor yang paling penting yang datang dari institusi terkait, seperti Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang dalam pembuatan program dan pengelolaan pendidikannya masih belum menunjukkan kualitas yang membanggakan, sehingga masih belum tepat sasaran dalam mengalokasikan anggaran untuk bantuan pendidikan bagi anak-anak putus sekolah, serta hal-hal lain yang ikut berpengaruh, seperti penyediaan sarana dan prasarana, serta fasilitas pendidikan di daerah terpencil atau daerah tertinggal.
Hal ini memang terdengar sedikit miris. Ditambah lagi saat ini pendidikan sudah didesentralisasikan. Dengan arti kata Kabupaten dan Kota sudah memiliki wewenang dan tanggungjawab baik dalam segi jalannya roda pemerintahan, maupun dukungan alokasi dana yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan tentang anak yang putus sekolah.
Berikut ini akan dilakukan analisis kebijakan pemerintahan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tentang pembinaan anak-anak yang putus sekolah di zaman desentralisasi pendidikan yang terjadi pada tahun 2008-2009. Tulisan ini akan memberikan alternatif solusi dan rekomendasi pemecahan masalah kebijakan yang nantinya juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintahan dan Dinas Pendidikan dan kebudayaan.

B.       Pembahasan
1.        Sistem Desentralisasi Pendidikan
Sistem pendidikan saat ini sudah terdesentralisasi. Desentralisasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mendelegasikan sebagian atau seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau pejabat pusat kepada unit atau pejabat di bawahnya, atau dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, atau dari pemerintah kepada masyarakat. Salah satu wujud dari desentralisasi ialah terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Dengan adanya desentralisasi pendidikan, maka segala hal yang berhubungan dengan manajemen pendidikan dapat dikelola dan dilaksanakan oleh tingkat daerah sampai kepada masyarakat. Bila dirinci, kewenangan di bidang pendidikan ini dapat mencakup mulai dari kewenangan merumuskan atau membuat kebijakan nasional di bidang pendidikan, melaksanakan kebijaksanaan nasional, dan mengevaluasi atau memonitor kebijaksanaan nasional tersebut. Meski begitu, tidak seluruh kewenangan tersebut dapat didesentralisasikan. Kewenangan perumusan atau pembuatan kebijaksanaan nasional mengenai pendidikan yang meliputi kurikulum, persyaratan pokok tentang jenjang pendidikan, taksonomi ilmu yang dikembangkan dan diajarkan dalam jenjang pendidikan, persyaratan pembukaan program baru, persyaratan tentang guru pendidik di setiap jenjang pendidikan, dan kegiatan-kegiatan strategis lainnya yang dipandang lebih efektif, efisien, dan tepat jika tidak didesentralisasikan barangkali masih dilakukan dan diperlukan sentralisasi. Sedangkan kewenangan implementasi dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau masyarakat. Dalam hal-hal tertentu yang spesifikasinya memerlukan penanganan khusus, pemerintah pusat masih berwenang melaksanakan sendiri. Demikian pula hal-hal yang bertalian dengan evaluasi kebijaksanaan nasional dilakukan oleh pemerintah pusat dan bisa pula diserahkan atau didesentralisasikan ke unit bawah, di daerah atau kepada masyarakat. Demikian juga kewenangan pembuatan kebijaksanaan dan yang berdimensi daerah atau lokal serta pelaksanaan dan evaluasinya tidak perlu lagi diintervensi dan dilakukan pusat, melainkan bisa secara didesentralisasikan.
Desentralisasi pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputus dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atau pemerintah daerah, atau masyarakat. Dengan demikian, diharapkan bisa memberdayakan peran unit di bawah atau peran rakyat dan masyarakat daerah.
Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu:
  1. desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik);
  2. desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
            Dapat diartikan bahwa program desentralisasi pendidikan merupakan jalan yang terang bagi pemerintahan kabupaten dan kota dalam menyikapi segala permasalahan yang ada, baik itu dalam pemerintahan, maupun dalam bindang pendidikan. Pemerintah Kabupaten dan Dinas Pendidikan dapat membuat program-program dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di daerah. Sehingga tidak ada lagi ungkapan yang menyatakan bahwa pendidikan yang maju adalah pendidikan yang berada di pusat (ibu kota negera).

2.        Anak Putus Sekolah
Manusia pada hakekatnya adalah makluk yang dapat dididik. Disamping itu menurut lengeveld manusia itu adalah animal educandum artinya manusia itu pada hakekatnya adalah makluk yang harus dididik, dan educandus artinya manusia adalah makluk yang bukan hanya harus dididik dan dapat dididik tetapi juga dapat mendidik. Dari kedua istilah tersebut dijelaskan bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak pada manusia atau pendidikan itu merupakan gejala yang layak dan sepatutnya ada pada manusia. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS :
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”5.
Pengertian tersebut, pendidikan merupakan upaya yang terorganisir. memiliki makna bahwa pendidikan dilakukan oleh usaha sadar manusia dengan dasar dan tujuan yang jelas. Ada tahapannya dan ada komitmen bersama didalam proses pendidikan itu. Berencana mengandung arti bahwa pendidikan itu direncanakan sebelumnya, dengan suatu proses perhitungan yang matang dan berbagai sistem pendukung yang disiapkan. Berlangsung kontinyu artinya pendidikan itu terus menerus sepanjang hayat. Selama manusia hidup proses pendidikan itu akan tetap dibutuhkan. Pengertian pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Suwarno yaitu :
“Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak, menuju kearah menuju kedewasaan dalam arti kesempurnaan hidup yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang selaras dengan alamnya dan masyarakat”.

3. Fakta
Menurut Kementerian Pendidikan Nasioanal, pencanangan Program Wajib Belajar 9 Tahun telah memacu angka partisipasi kasar wajib belajar hingga 98,11% atau 12,7 juta anak. Sementara realisasi data UNICEF menyebutkan dalam 20 tahun terakhir rasio bersih anak usia sekolah di tanah air mencapai 94%. Meski demikian, di tanah air hingga kini masih sangat banyak anak-anak usia 7-15 tahun atau usia sekolah yang belum sempat mengenyam pendidikan. Hingga tahun 2009 lalu, menurut data yang diolah lembaga demografi Universitas Indonesia, jumlahnya mencapai 435.843 anak.
Tingginya anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan angka putus sekolah di tanah air membuat tingkat Indonesia turun dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (education for all) dari badan dunai yang mengurusi pendidikan, UNESCO. Tahun 2011 sebanyak 527.850 anak atau 1,7% dari 31,5 juta anak sekolah dasar putus sekolah. Kondisi demikian membuat peringkat Indonesia turun ke posisi 69 dari 127 negara. Tahun lalu peringkat Indonesia ada pada posisi 65. Faktor lain adalah tingginya angka buta huruf nasional yang masih lebih tinggi dari 7% turut mempengaruhi peringkat Indonesia. Data yang diolah Lembaga Demografi UI, menunjukkan di sejumlah daerah, jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah serta angka putus sekolah tercatat masih sangat tinggi.

4.        Kajian Analisis Kebijakan Pendidikan Anak Putus Sekolah
Menganalisis lebih dalam data yang ditemukan tentang anak putus sekolah,  terlihat bahwa pada setiap kota dan kabupaten di propinsi Sumatera Barat terdapat anak putus sekolah pada jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA dengan jumlah yang bervariasi. Meskipun pemerintah RI telah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun, ternyata di lapangan masih ditemukan adanya siswa-siswa yang putus sekolah pada jenjang SD dan SLTP.
Realita menunjukkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami putus sekolah terutama disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
1.    Faktor internal
a.    Tidak ada motivasi diri
“Motivasi adalah daya dorong yang mengakibatkan seorang mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga, dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya”.
Dari kutipan tersebut manusia memerlukan daya dorong agar tetap semangat dalam belajar. Berbeda dengan anak putus sekolah, motivasi justru rendah dan tidak ada dorongan dari luar maupun dari dalam diri sendiri untuk membangkitkan motivasinya.
b.      Malas untuk pergi sekolah karena merasa minder
Sifat malas ini muncul karena perasaan minder yang diderita oleh si anak. minder tidak bisa menyesuaikan dengan kemampuan siswa yang lain dan minder karena ejekan.
c          c.       Tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya
Pada saat anak bersekolah akan selalu berinteraksi dengan siswa lain, menjalin komunikasi, berteman, bercanda bersama. Dalam cara komunikasi siswa memiliki
2.    Faktor Eksternal
a.  Faktor Ekonomi Keluarga. Kebiasaan keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah menyuruh atau melibatkan anak laki-laki untuk bekerja dalam rangka menambah income keluarga. Pada sisi lain siswa laki-laki itu sudah bisa mencari uang dengan cara ngojek, stokar atau menbantu panen di ladang atau mencari ikan, lama kelamaan menjadi keenakan cari uang untuk membeli/ memenuhi kebutuhan sendiri, seperti untuk menbeli rokok. Hal ini menyebabkan kegiatan sekolah anak terabaikan dan lama-kelamaan anak merasa malas sekolah, dan akhirnya putus sekolah. Hal ini terjadi  karena anak laki-laki tersebut atau orang tuanya berfikir bahwa tujuan akhir sekolah adalah untuk bisa mencari uang/nafkah, dan tanpa tamat sekolah pun saat ini anak laki-laki mereka telah mampu mendapatkan uang.  Akhirnya mereka berfikir bahwa apa yang mereka lakukan merupakan jalan Pintas untuk mendewasakan anak laki-laki.
b.  Faktor Geografis, dimana jarak antara rumah tempat tinggal dengan sekolah yang cukup jauh, disamping kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung, menyebabkan  anak sering terlambat, bolos dan malas masuk sekolah dan akhirnya menjadi putus sekolah Hal ini terutama pada daerah yang luas, dimana tempat tinggal penduduk tersebar pada berbagai pelosok, seperti daerah Sawahlunto, Solok dan lain sebagainya.
c.       Suasana Sekolah yang tidak nyaman dan tidak memberikan motivasi yang efektif kepada siswa yang mempunyai potensi untuk putus sekolah, sehingga siswa terdorong untuk meninggalkan bangku sekolah. Banyak kasus anak laki-laki putus sekolah yang disebabkan perlakuan guru terhadap siswa yang kurang baik. seperti menegur siswa yang nakal, suka bolos, tidak membuat tugas dan lain-lain, menyebabkan akhirnya siswa putus sekolah.
d. Orang tua. Banyak orang tua yang tidak menyadari pentingnya pendidikan bagi kehidupan masa depan anak laki-lakinya, dan tidak memberikan motivasi yang optimal bagi kelanjutkan sekolah putra mereka sehingga anak putus sekolah.
e.  Faktor sosial-budaya masyarakat, yang memberikan kebebasan pada anak laki-laki untuk melakukan apa yang diinginkan, sehingga anak laki-laki mempunyai keberanian dan control lebih kuat terhadap dirinya untuk menentukan apa yang diinginkannya, dibandingkan dengan anak perempuan.
f.    Pengaruh lingkungan pergaulan. Ada juga siswa laki-laki yang putus sekolah karena ikut-ikutan dengan teman yang telah labih dahulu putus sekolah. Apa lagi bila melihat teman yang putus sekolah terlibat dalam suatu pekerjaan yang menghasilkan uang maka ia akan ikut teman tersebut. yang tidak  Lingkungan pergaulan siswa laki-laki .
Dalam menyikapi faktor-faktor yang berpengaruh di atas, maka pemerintah memberikan beberapa solusi, diantaranya:
1)   Dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun, diharapkan pemerintah dalam hal ini Dinas pendidikan, pemuda dan olahraga berupaya memberikan pendidikan gratis untuk siswa SD dan SLTP dalam berbagai hal, sehingga tidak ada alasan bagi  orang tua untuk membiarkan putranya mengalami putus sekolah, dengan alasan ekonomi atau kemiskinan, tempat tinggal yang jauh dari sekolah dan alasan lainnya.
2)Pemberian dukungan beasiswa secara proporsional pada siswa laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di jenjang pendidikan SLTA yang mempunyai kemungkinan dan peluang besar untuk putus sekolah.
3)   Penciptaan suasana sekolah yang  nyaman bagi siswa sehingga siswa merasa betah berada di sekolah. Di samping itu memberikan motivasi pada siswa bahwa mereka dapat menyelesaikan pendidikan dan tidak cepat putus asa.
4)   Peningkatan kompetensi profesional para guru dan pemahaman yang utuh tentang hak anak sehingga para guru mampu memahami berbagai kebutuhan siswa yang bervariasi dan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan non diskriminatif terutama berdasarkan jenis kelamin.
5)   Penyadaran terhadap berbagai lapisan masyarakat terutama para orang tua melalui KIE tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak dan mengingatkan ajaran agama Islam yang mewajibkan menuntut ilmu kepada setiap  laki-laki dan perempuan
6)   Penyediaan sarana dan prasarana sekolah yang memadai seperti pembangunan sekolah atau ruang kelas baru yang lebih dekat dengan pemukiman penduduk, penyediaan asrama dan alat transportasi bagi siswa yang mempunyai tempat tinggal yang jauh dari sekolah dan sarana prasana pendukung lainnya.

5.        Pendekatan Pemecahan Masalah Anak Putus Sekolah
Memahami berbagai faktor penyebab putus sekolah maka dirasa perlu refomulasi kebijakan pendidikan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan dan program pada masa yang akan datang “penurunan jumlah anak putus sekolah, pada setiap jenjang pendidikan dengan rencana aksi  dapat dibagi ke dalam dua pendekatan, yakni Public Policy dan Soacial Policy (Noeng Muhadjir, 2004).
a.      Public Policy
Memberikan layanan pada publik rata-rata dengan menetapkan biaya pendidikan, menjaga martabat warga negara, memberikan pelayanan sosial dan pendidikan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan rata-rata warga negara. Dalam hal pembuatan kebijakan tentang pendidikan, pemerintah mengakomodir keadaan rata-rata tingkat ekonomi masyarakat, dan melakukan pemerataan pendidikan. 
b.      Social Policy
Paradigma ini tidak sebatas membantu yang lemah, tetapi menjangkau semua kebijakan bagi kepentingan semua masyarakat bangsa dan negara, dan menjangkau visi global. Melalui community based development dalam social policy perlu ditampilkan dalam filsafat pemberdayaan masyarakat pada semua jenjang untuk membuat perencanaan, mengarahkan, mengkoordinasi, dan mengimplementasikan.
Berdasarkan pandangan dua pendekatan di atas, maka dapat diberikan pemecahan terhadap permasalahan anak putus sekolah dalam bentuk:
1)   Perluasan pendidikan Wajar pada jalur non formal: termasuk kebijakan strategis untuk mendukung program Wajar. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi (APM/APK) Dikdas melalui program Paket A dan Paket B. Program ini sangat strategis untuk menjangkau peserta didik yang memiliki berbagai keterbatasan untuk mengikuti pendidikan formal, terutama anak-anak dari keluarga tidak mampu, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, atau anak-anak yang terpaksa bekerja (Renstra Depdiknas, 2005-2009, hal. 21)
2)   Memberdayakan Masyarakat dalam Mengembangkan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM)
Keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari sebuah sistem pada proses pendidikan yang berperan juga sebagai penyelenggara pendidikan di masyarakat sendiripun saat ini masih kecil (walaupun tidak seluruh wilayah di Indonesia rendah) dan belum merata dalam hal keterlibatan secara langsung menangani secara serius permasalahan tingginya angka putus sekolah dan meningkatkan pola pikir dan paradigma masyarakat untuk menyadarkan dan memahami bersama betapa pentingnya pendidikan sebagai bekal masa depan bangsa bagi generasi penerus bangsa Indonesia.
Adapun keterlibatan secara langsung unsur masyarakat dalam menyelenggarakan proses pendidikan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan mendirikan dan menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal yang dikelola dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah melalui satuan kerja pendidikan nonformal dan informal.
3)      Pendekatan budaya dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya siswa putus sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi terhadap pelaksanaan pendidikan di daerahnya masing-masing. Jadi hal ini sangat potensial untuk dijadikan rekomendasi dalam merencanakan pendidikan yang berbasis lokal khususnya dalam hal pendidikan bagi anak yang putus sekolah.

C.    Simpulan
Pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, Manusia pada hakekatnya adalah makluk dapat dididik. Dengan memaksimalkan pendidikan secara otomatis juga akan meningkatkan taraf hidup masyarakat suatu bangsa. Pendidikan itu dimulai dari keluarga. Paradigma ini penting untuk dimiliki oleh seluruh orang tua untuk membentuk karakter manusia masa depan bangsa ini. Jika karakter anak dapat terbentuk didalam keluarga, maka akan memudahkan anak melakukan aktifitas di luar lingkungan keluarga dengan nyaman dan penuh tanggung jawab. Tiang bangsa ini berada ditangan anak-anak sekarang. Hak-hak anak memperoleh pendidikan yang layak patut diperjuangkan sehingga tidak terjadi anak putus sekolah.
Permasalahan anak putus sekolah yang marak terjadi menjadi tanggung jawab bersama. Tanggung jawab bersama-sama untuk mengatasi anak putus sekolah. Pemberian motivasi yang berkelanjutan juga diperlukan. Motivasi sebagai alat pendorong anak-anak untuk bersekolah. Permasalahan anak putus sekolah sebagai kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Tanggungjawab yang harus dipikul bersama dan menggunakan pendekatan-pendekatan kebijakan yang berdasaran public and social policy. Hal ini dapat diimplementasikan melalui program pendidikan diantaranya; sekolah alam untuk mengatasi anak putus sekolah di daerah perkotaan dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) diharapkan mampu menangani anak putus sekolah yang terjadi di negeri ini, dan program pendidikan dengan menggunakan pendekatan budaya dan kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia.
Namun, program pendidikan ini bisa berjalan lancar jika semua komponen yang ada di Negara ini berkomitmen dan bekerja sama. Dengan tujuan untuk membentuk manusia-manusia yang memiliki kompetensi, sigap dalam menghadapi masalah, dan menghadapi tantangan zaman.

Komentar

Posting Komentar

Terimakasih

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Moral di SD

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL