Korupsi dan sistem anti korupsi



Perang melawan korupsi di beberapa Negeri seperti peperangan tanpa akhir. Ibarat perjalanan, upaya menuju berbangsa dan bernegara yang bersih dari korupsi merupakan perjalanan yang amat terjal dan berliku. Sudah beragam penindakan terhadap koruptor dilakukan. Tetapi para koruptor tak juga berhenti mencuri uang rakyat, merampok uang negara dengan menggunakan berbagai modus baru yang kian canggih.
Editorial Media Indonesia (tanggal 9 Desember 2013) pernah dibahas tentang pemberantasan korupsi dengan judul “mendaki melawan korupsi”; di jelaskan bahwa di Indonesia praktik korupsi seolah makin menyebar ke seluruh instansi, golongan, individu dan bahkan sampai masyarakat kecil. Korupsi yang dilakukan sudah banyak merugikan negara. tidak mengherankan bila Transparency International kembali memberikan skor indeks persepsi korupsi yang sama bagi Indonesia pada 2013, yakni 32. Secara global, Indonesia masuk ke 70% negara-negara yang memiliki skor di bawah 50. Adapun di regional Asia Pasifik, Indonesia masuk ke 63% negara-negara yang memiliki skor di bawah 50. Celakanya lagi, survei tersebut masih menempatkan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, parpol, serta parlemen dalam empat sektor yang paling korup. Dengan skala 0-5, skor semakin tinggi semakin korup, kepolisian menjadi yang terkorup dengan skor 4,5, diikuti parlemen (4,5), pengadilan dan kejaksaan (4,4), serta parpol (4,3). Maka, perang melawan korupsi di Indonesia masih teramat jauh dari kemenangan dan bahkan semakin rumit. Di sisi lain, penegak hukum belum banyak menghadirkan hukuman yang melahirkan efek jera. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dengan susah payah menjerat para koruptor bahkan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sekalipun akhirnya dibuat masygul karena pengadilan tipikor hanya mengganjar para Koruptor dengan hukuman amat ringan.
Akhir-akhir ini ada secercah harapan ketika Mahkamah Agung menambah hukuman terpidana korupsi, Angelina Sondakh, dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun ditambah denda Rp39,9 miliar. Itu patut kita apresiasi. Namun, menggantungkan penjeraan koruptor hanya dari segelintir hakim yang masih memiliki akal sehat, jelas jauh dari cukup. Tetapi tak banyak pula hakim-hakim dan penegak hukum lainya yang terlibat meringankankan hukuman para koruptor dan akhirnya tertangkap dan menjadi tersangka. cantoh yang paling miris dan memalukan adalah tertangkapnya hakim konstitusi AM. selain itu akhir-akhir ini beberapa pejabat negara sudah menjadi tersangka diantaranya yang paling anyar adalah ZM, FA dan beberapa pejabat negara lainya.
KPK yang mendapatkan limpahan kepercayaan luar biasa dari masyarakat juga mulai kehilangan sedikit kepercayaan akibat ulahnya sendiri. Publik mulai menangkap ada nuansa pembelahan jalur penanganan korupsi menjadi 'jalur cepat' dan 'jalur lambat'. Jalur cepat untuk kasus-kasus yang agak jauh dari lingkaran inti kekuasaan, sedangkan jalur lambat seolah disediakan untuk kasus-kasus yang masuk lingkaran inti kekuasaan, seperti kasus Century dan Hambalang.
Menurut Seumas Miller. Memerangi korupsi sebenarnya sangat mudah, solusinya adalah para penegak hukum harus memiliki "senjata ampuh" tertentu dalam memberantas korupsi, seperti menambah hukuman atau memberikan kekuasaan lebih kepada polisi, dan melakukannya tanpa mempertimbangkan implikasi sosial, ekonomi, dan moral. Menurut Seumas, ada berbagai variasi kegiatan yang dapat dilihat sebagai bentuk korupsi, dan cara-cara untuk menangani kegiatan-kegiatan tersebut adalah dengan cara beragam pula.
Terdapat beberapa isu yang ditangani dalam pejelasan Seuma; Yang pertama adalah apakah kegiatan korupsi sporadis atau berkelanjutan. Sebagaimana telah dibahas dalam bab yang lain dalam buku Corruption and Anti-Corruption, korupsi biasanya dilakukan secara berulang-ulang, tetapi dengan satu tindakan, meskipun salah dan melanggar hukum, mungkin tidak dihitung sebagai korupsi karena tidak merasa korup, atau setidaknya tidak sampai tingkat serius. Oleh karena itu, setiap merenungkan mekanisme anti-korupsi yang akan membutuhkan pengeluaran energi dan sumber daya, bahkan mungkin akan menganggangu kebebasan individu. Hal ini dibenarkan untuk keberhasilan memerangi dan memberantas korupsi yang meluas secara serius.
Sistem anti-korupsi dapat dianggap baik terutama sebagai reaksi atau dominasi preventif. Tentu saja ada perbedaan, karena masing elemen memiliki kebutuhan, misalnya, penyelidikan dan ajudikasi, serta unsur preventif, misalnya, pelatihan etika dan transparansi, dalam sistem anti-korupsi yang memadai. Seumas mengusulkan untuk mempertimbangkan sistem anti-korupsi yaitu reaktif dan preventif. Dibawah ini akan dijelaskan sistem pencegahan menjadi tiga sub pokok yaitu: mempromosikan perilaku etis; prosedur tata kelola perusahaan, dan transparansi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Moral di SD

PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL