PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL




My Inspiration
 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin pesat mengakibatkan perubahan budaya masyarakat berlangsung dengan cepat, perubahan budaya masyarakat akan membawa perubahan pendidikan. Sebaliknya, perkembangan pendidikan akan membawa perubahan pada kehidupan masyarakat. Tarik-menarik dan dorong-mendorong antara keduanya menjadikan perubahan masyarakat berlangsung semakin cepat. Begitu cepat perubahan berlangsung, menyebabkan warga masyarakat tidak sadar bahwa merekapun mengalami perubahan.
Pada dasarnya pendidikan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kebudayaan karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses pembudayaan, menurut K.H. Dewantara, Budaya berasal dari kata “budi” yang diartikan sebagai jiwa manusia yang telas masak atau buah budi manusia. Glazer dkk memandang budaya sebagai suatu totalitas pengalaman yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, adat istiadat kapabilitas, dan kebiasaan lain yang dimiliki oleh manusia, pembudayaan yang dimaksud oleh Glazer diperoleh melalui proses pendidikan. Sementara J.P. Spradley mengatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.
Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan sangat erat, keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Kaitanya dengan hal ini, Prof. Zamroni menenkankan bahwa “Pendidikan yang tidak didasari oleh kebudayaan akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Menjadikan pendidikan steril dari kekayaan budayanya sendiri, dan berpotensi untuk menghasilkan enclave dalam masyarakat.”
Ranggawarsita menyebut zamanya sebagai zaman edan yang diungkapkan melalui sebait syair; “Sekarang martabat negara, tampak sepi, sebab rusak pelaksanaan peraturanya, karena tanpa teladan, orang meninggalkan kesopanan, para cendekiawan dan para ahli terbawa, hanyut ikut dalam zaman bimbang, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupanya, kesengsaraan dunia karena tergenang sebagai halangan”. Ungkapan Ranggawarsito ini saat ini memang benar-benar terjadi melanda budaya bangsa Indonesia, sudah terjadi krisis multi dimensi. Generasi muda hampir meninggalkalkan martabat dan sopan santun, sidah hampir kehilangan kesopanan, bahkan sudah melanda elit politik dan pemimpin bangsa kita. Telah terjadi kontradiksi budaya masyarakat kapitalis yang melanda bangsa Indonesia yang kebetulan sedang melanda kapitalis Barat, selain itu terjadi juga inkoherensi antara masyarakat dan budaya, atau structure dan culture baik itu dalam bentuk anomie maupun kontradiksi budaya.
Peran sekolah sebagai bagian terpenting dalam mempertahankan budaya bangsa sudah kalah dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat mengubah budaya masyakat. Sekolah-sekolah di Indonesia yang mendasarakan kebangsaan atau kebudayaan tidak mampu mempertahankan prinsip dasar pendirian sekolah itu sendiri. Prinsip-prinsip dasar dimana sekolah didirikan juga tergerus oleh tuntutan modernitas. Prof. Zamroni menjelaskan bahawa perkembangan dunia pendidikan membawa dua problem utama. Pertama, terjadi proses industrialisasi sekolah yang memiliki watak liberalistis dan kapitalistis. Akibatnya, jiwa pendidikan tergusur oleh perhitungan-perhitungan dan kepentingan ekonomi. Kedua, sekolah telah menghasilkan lulusan yang tercabut dari akar budaya. Karena sekolah menawarkan budaya urban, maka lulusan sekolah berbudaya urban tidak betah tinggal di desa, maka  berbondong para generasi muda terdidik bermigrasi ke kota-kota. Pernyataan indah “Think globally, act locally” hanya jadi mitos. Realitas adalah “think globally, act globally as well”.
Untuk mengantisipasi budaya masyarakat semakin jauh tergerus oleh perkembangan teknologi, dibutuhkan strategi khusus pendidikan berbasis budaya lokal sehingga di tengah tuntutan zaman, wajah pendidikan tidak bisa melepaskan diri dari jati diri bangsanya sendiri. Prof. Zamroni mengatakan dalam sebuah pidatonya; bangsa Indonesia telah memiliki common values, beliefs, attitudes dan norms yang telah digagas dan diwariskan oleh para foundings father, yakni Pancasila. Pendidikan berbasis budaya berarti pendidikan berbasis budaya yang berakar pada Pancasila. Nafas dan dinamika pendidikan mesti didasari oleh values, beliefs, norms dan attitudes yang ditumbuh-kembangkan dari Pancasila. Semuanya itu akan terefleksikan pada visi, misi, nilai-nilai, orientasi dan strategi serta kebijakan pendidikan nasional yang menjadi pedoman bagi praktik pendidikan di tanah air.
Pada dasarnya Pancasila dapat dikembangkan menjadi dua pilar budaya, yaitu Theo-centris dan Gotong Royong yang merupakan sistem dan praktik pendidikan Indonesia. Dengan demikian pendidikan berbasis budaya lokal merupakan suatu sistem dan praktik pendidikan yang berdasarkan Pancasila, yang menumbuhkan dua pilar budaya tersebut dengan tujuan jangka panjang dalam pembangunan bangsa indonesia untuk mewujudkan Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. 
Untuk mewujudkan gagasan-gagasan besar di atas, menurut Prof. Zamroni; dibutuhkan beberapa strategi dalam pengembangan pendidikan, salah satunya adalah melalui konsep pendidikan populis berbasis budaya. Pendidikan populis merupakan pendidikan yang mengedepankan keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan sekolah dan proses pembelajaran, yang dilaksanakan dengan suasana kepengasuhan. Keadilan dan kesetaraan merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk mewujudkan prestasi ekselens untuk semuanya. Ekselensi tidak sekedar diukur dengan standar seberapa jauh materi yang disajikan di kelas sudah dikuasai oleh peserta didik, melainkan juga perlu dievaluasi bagaimana manfaat keberadaan siswa dengan penguasaan ilmu terhadap orang lain. Lebih jauh lagi perlu juga dievaluasi seberapa jauh hasil pendidikan telah berdasarkan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, sehingga pencapaian tujuan pendidikan bukan menjadi hal yang sukar.
Konsep pendidikan budaya lokal akan mempersiapakan genarasi muda agar lebih siap dalam menghadapi tantangan perkembangan teknologi dimasa yang akan datang. Seperti yang pernah ditegaskan Sri Sultan HB X, pendidikan yang bermuatan lokal memiliki hubungan sangat dekat dengan masyarakat dan berada di tengah-tengah masyarakat. Sehingga pendidikan dengan basis budaya lokal dapat lebih mudah diterima masyarakat. Pendidikan berbasis budaya lokal dapat dengan mudah terinjeksi pada masyakarakat sebagai pelaku utama perkembangan pendidikan. Dengan budaya sebagai pilar pendidikan, karakter yang diharapkan dalam perkembangan bangsa diyakini dapat berhasil tertanam. Hal ini dikarenakan pula budaya Indonesia menganut budaya ketimuran yang menjunjung tinggi martabat, akhlak dan takwa , serta berkarakter lugas. Dengan ini, diharapkan seluruh elemen pendidikan tidak hanya bersifat sebagai robot, tetapi juga ikut andil sebagai pelaku budaya lokal dalam menginternalisasikan nilai-nilai luhur budaya lokal masing-masing daerah untuk membentuk suatu model pendidikan karakter yang khas bagi setiap daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Moral di SD