Multicultural Education
PARTISIPASI ORANG TUA DAN MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL
DI
SEKOLAH DASAR
By:
ASWASULASIKIN
A.
Pendahuluan
Pendidikan multikultural merupakan suatu
fenomena pendidikan, di dalamnya terjadi proses
berdasarkan beberapa idealisme yang terkait dengan pendidikan
multikultural. Pelaksanaan pendidikan multikultural sebelumnya harus didasari
dengan pemahaman yang mamadai tentang konsep multikulturalisme sebagai fenomema
kultur dan hubungan antarkultur dalam konteks sosial masyarakat, termasuk konteks pendidikan,
selanjutnya pemahaman tentang multikultural sebagai nilai yang diyakini dan
dikembangkan (sebagai isme dalam
multikultutralisme),
dan bagaimana mengembangkannya dalam pendidikan
multikultural dalam konteks pendidikan tertentu.
Multikulturalisme
sebagai konsep, nilai, dan praktek pendidikan merupakan variabel yang tidak
berdiri sendiri dalam konteks sosial masyarakat umum dan masyarakat pendidikan. Karena
itu, multikulturalisme harus dilihat dalam hubungan antar kultur yang dimiliki dan
dibawa sebagai atribut setiap individu dalam konteks masyarakat tertentu,
termasuk masyarakat pendidikan.
Pendidikan multikultural sudah menjadi tuntutan yang
harus dipenuhi, tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena Indonesia sebagai Negara
multikultur terbesar di dunia. Pendidikan multikultural tidak hanya sekedar diwacanakan, namun sudah
waktunya untuk segera direalisasikan di Indonesia, baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal,
maupun informal. Pendidikan formal, dalam hal ini sekolah, harus menjadi
pelopor pendidikan multikultural. Demikian pula pendidikan nonformal dan informal juga merupakan jalur pendidikan yang harus diperkuat untuk
berhasilnya pendidikan multikultural.
Dengan demikian, pendidikan yang setara bagi semua warga negara sebagai tujuan utama
pendidikan multikultural akan dapat terwujud.
Khususnya
di lingkup sekolah, melalui pendidikan
multikultural berarti perbedaan individu siswa (dari segi
etnis, latar belakang sosial-ekonomi, kultur, kepandaian, agama, dll.)
diapresiasi dan dijadikan dasar pertimbangan
sekolah dalam memberikan layanan pendidikan. Namun demikian, kondisi empirik di sekolah menunjukkan bahwa
sebagian besar kepala sekolah, guru, komite sekolah belum memahami makna
pendidikan multikultural yang sesungguhnya (Farida Hanum & Setya Raharja, 2006). Hal ini menjadi tugas berat bagi
sekolah, karena akan berimplikasi pada manajemen sekolah dan perlunya
sekolah menjalin kerja sama dengan stakeholders baik internal maupun
eksternal.
B.
Pembahasan
1.
Pendidikan Multikultural
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3
disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Selanjutnya, pada pasal 4 (1) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai substkeagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Depdiknas, 2006: 11-12). Kedua pasal
tersebut mengandung dua substansi yang berbeda namun terkait satu sama lain.
Salah satu substansi pasal 3 adalah terbentuknya pribadi yang memiliki sikap
demokratis sebagai hasil akhir proses pendidikan. Sementara substansi pasal 4
mengandung makna demokrasi dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Pasca
reformasi tahun 1998, iklim demokrasi di Indonesia semakin bersemi. Pada era
demokrasi, pendidikan diharapkan mampu
mengakomodasi kondisi bangsa yang
heterogen dengan memberikan layanan pendidikan yang demokratis dengan
mencerminkan prinsip-prinsip multikulturalisme. Selanjutnya, dari proses yang
demokratis tersebut akan dihasilkan individu yang memiliki pemahaman,
penghayatan, dan kemampuan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip
multikulturalisme tersebut dalam kehidupan nyata di tengah masyarakat, bangsa
dan negara yang heterogen itu. Untuk
kepentingan ini, Suyanto (2006:181) mengemukakan bahwa pendidikan nasional memegang peranan penting
dalam menanamkan kesadaran akan berbagai perbedaan, sehingga perlu digagas visi
pendidikan yang mampu mengakomodir perbedaan-perbedaan itu (visi pendidikan
multikultural).
Tujuan
pokok pendidikan bervisi
multikulturalisme adalah menerapkan prinsip-prinsip keadilan, demokrasi,
dan sekaligus humanisme (Yaqin, 2005: 26). Dua argumentasi kuat yang mendukung
urgensi pendidikan multikulturalisme; pertama alam demokrasi di Indonesia yang
semakin terbuka, kedua fenomena heterogenitas masyarakat yang membentuk negara-
bangsa Indonesia. Adalah suatu yang naif bila masyarakat menyebut dirinya
demokratis, namun masih terdapat berbagai ganjalan dalam masyarakat dalam
menyikapi berbagai perbedaan yang ada. Karena itu, pendidikan di alam demokrasi
seperti saat ini harus berorientasi pada kepentingan bangsa yang
berlatarbelakang multi-etnic, multi-religion, multi-language, perbedaan
status sosial, perbedaan kelamin, perbedaan kemampuan, dan lain-lain (Abdullah,
2005: xi-xx). Sikap akomodatif terhadap berbagai perbedaan yang ada untuk
terbangunnya sebuah peradaban yang menghargai berbagai perbedaan itu tentu
tidak mungkin dicapai melalui proses-proses yang homogen (seragam). Artinya,
proses pendidikan yang dikembangkan juga harus mencerminkan heterogenitas
sesuai karakteristik perbedaan-perbedaan itu (Suyata, 2006: 231).
Di dalam pendidikan multikultural
terletak tanggung jawab besar untuk pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang
difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah
tidak mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan
dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi melalui
pendidikan nasional.
2.
Partisipasi Masyarakat
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang
hidup dalam suatu daerah tertentu yang telah cukup lama dan mempunyai
aturan–aturan, untuk menuju tujuan yang sama. Manusia hidup berbudaya dan
bermasyarakat (Arifin, 2001: 21). Dijelaskan bahwa masyarakat adalah sekelompok
manusia yang memiliki karakteristik
dengan berelasi atau berhubungan diantara individu pada kultur atau institusi
tertentu.
a.
Pengertian Partisipasi
Masyarakat
Partisipasi adalah keterlibatan
seseorang baik pikiran maupun tenaga dalam proses pembuatan
keputusan, pelaksanaan program, mengevaluasi dan memperoleh manfaat dari
program tersebut. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa esensi
partisipasi adalah keterlibatan sikap dan perbuatan nyata dalam kegiatan
menyusun rencana, melakukan, memanfaatkan hasil, mengevaluasi, menanggung
resiko dan bertanggung jawab atas suatu
program. Partisipasi dapat dimanivestasikan dalam bentuk sikap dan perbuatan
yang ditunjukkan oleh frekuensi dari partisipasi masyarakat.
b. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat
Dalam penyelenggaraan pendidikan
diperlukan adanya partisipasi semua stakeholders pendidikan, termasuk
masyarakat dan orang tua. Dalam berpartisipasi, masyarakat harus
melakukannya sesuai dengan tanggung jawab dan kepentingannya. Hal ini diketahui
sejauh mana anggota masyarakat atau kelompok masyarakat tersebut ikut berperan
dan berpartisipasi dalam dalam penyelenggaraan pendidikan. Participation
is the degree to witch members of social system are involved in
the decition-making process (Rogers & Shoemaker, 1995:
286).
Bentuk partisipasi masyarakat dapat
berupa apa saja yang relevan dalam penyelenggarakan pendidikan, baik berupa
fisik maupun nonfisik. Dalam peraturan pemerintah (PP) nomor 39 tentang peran
serta masyarakat menyebutkan bentuk dan sifat peran seta masyarakat sebagai
berikut: 1) Pendirian dan penyelenggaraan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan sekolah atau jalur pendidikan luar sekolah,
pada semua jenis pendidikan kecuali pendidikan kedinasan dan pada semua jenjang
pendidikan. 2) Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan untuk
melaksanakan atau membantu pelaksanaan pengajaran atau pembimbingan. 3)
Pengadaan atau pemberian tenaga ahli untuk membantu pelaksanaan kegaiatan
belajar mengajar. 4) Pengadaan program pendidikan yang belum diadakan oleh
pemerintah untuk menunjang pendidikan nasional. 5) Pengadaan dana atau
pemberian bantuan dapat berupa wakaf hibbah, sumbangan, beasiswa. 6) Pengadaan
bantuan ruangan, gedung, dan tanah untuk melaksanakan KBM, 7) Pengadaan dan
pemberian buku pelajaran dan peralatan pendidikan untuk melaksanakan KBM. 8)
Pemberian kesempatan untuk magang. 9) Pemberian bantuan manajemen bagi
penyelenggara satuan pendidikan untuk melaksanakan
KBM. 10) Pemberian pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan
kebijakan atau penyelenggaraan pengembangan pendidikan. 11) Pemberian bantuan
dan kerjasama dalam kegaiatan penelitian dan pengembangan. 12) Keikutsertaan
dalam program pendidikan dan/atau penelitian yang diselenggarakan oleh
pemerintah.
c. Urgensi
Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan
Partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan sangat diperlukan dan sangat diperlukan.
Adanya pelibatan memungkinkan masyarakat memiliki rasa tanggung jawab terhadap
kelanjutan program-program yang sudah dirancang oleh sekolah. Dengan
pendekatan partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas
masyarakat dapat lebih tergali. Dengan melibatkan masyarakat secara keseluruhan
proses, maka segala perencanaan baik itu dalam bidang kurikulum maupun bidang
lainya dapat terlaksana dengan baik.
d. Strategi
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pendidikan Dasar
Selama ini telah terjadi kesenjangan
antara masyarakat dengan sekolah, seolah ada jurang pemisah. Bahkan terjadi
anggapan bahwa sekolah hanyalah sekedar tempat penitipan anak karena orangtua
tidak memiliki waktu untuk menjaga dan mendidik, atau mungkin tidak bisa dan
tidak tau cara mendidik anak. Walaupun demikian apresiasi orangtua dan
masyarakat terhadap sekolah masih sangat rendah.
Menurut Tilaar (2004: 76) bangsa dan
masyarakat Indonesia telah bertekad untuk membangun suatu masyarakat Indonesia
baru sebagi hasil dari reformasi untuk meninggalkan kehidupan yang telah
dibangun orde baru yang telah dinafikan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai
kemanusiaan. Visi dari pembangunan nasional yaitu kesepakatan untuk memperkuat
jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam
suasana yang demokratis, tentram aman dan damai. Visi tersebut telah lahir dari
pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia di dalam krisis nasional yang
berkepanjangan. Kondisi kehidupan nasional termasuk pendidikannya yang kurang
bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik. Saat ini kualitas
kehidupan dan jati diri bangsa telah menurun. Visi masyarakat Indonesia baru
tersebut dituangkan di dalam misi bidang pendidikan nasional yaitu mengembangkan
kualitas manusia Indonesia. Misi pendidikan untuk membangun masyarakat
Indonesia baru yaitu berbagai usaha untuk mengembangkan kualitas-kualitas
manusia Indonesia yang: (1) demokratis; (2) berakhlak mulia; (3) kreatif; (4) inovatif;
(5) berwawasan kebangsaan; (6) sadar hukum dan lingkungan; (7) disiplin; (8) bertanggung
jawab, dan (9) menguasai IPTEK.
e.
Kerjasama Sekolah dengan
Masyarakat
Dalam manajemen berbasis sekolah (MBS),
para orangtua menerima pelayanan yang berkualitas melalui siswa-siswa yang
menerima pendidikan yang mereka butuhkan. Peran orangtua sebagai partner
dan pendukung. orangtua dapat berpartisipasi dalam proses sekolah, mendidik
siswa secara kooperatif, berusaha membantu perkembangan sekolah yang sehat,
memberi sumbangan sumberdaya dan informasi, mendukung dan melindungi sekolah
pada saat mengalami kesulitan dan krisis (Nurkolis, 2006: 82). Untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
dasar diperlukan adanya kerjasama antara sekolah dan masyarakat, hubungan
tersebut dibangun dari komunikasi yang baik, sesuai dengan pengertian hubungan
yang dijelaskan oleh Daryanto (2006: 69), sebagai berikut:
Secara
sederhana “hubungan” “communication”. (di Indonesia: komunikasi) dapat
diartikan sebagai “ process by wich a person transits a massage to another”.
(proses penyampaian berita dari seseorang kepada orang lain). Komunikasi di
dalam administrasi sekolah adalah suatu proses penyampaian sesuatu (berita/ide
kepada orang lain). Hal ini bisa secara intern yaitu didalam organisasi sekolah
itu sendiri. Juga bisa ekstern, artinya antara sekolah dengan pihak lain
(keluar) masyarakat lembaga/instansi yang lain.
Selanjutnya Luis Columna
dkk (2008: 3) menyatakan bahwa:
Teachers need to create culturally responsive pedagogical practices
(Sutliff, 1996). In other words, APE and PE teachers should consider various
cultural customs, values, and leisure preferences. This may enable teachers to
understand cultural behaviors and norms and respond in an appropriate
pedagogical manner. Once teachers develop responsive pedagogical practices,
services can be modified to meet the needs of all learners.
Regardless of how familiar families are with APE services, teachers
need to be the ones to initiate contact with families. It is always important
to share information with Hispanic parents in their language of preference
(Spanish or English) in order to achieve optimal understanding of content.
Moreover, IDEIA of 2004 mandates that information for special education
meetings and services be provided in the preferred language of the family.
Research findings suggest that first-generation Hispanics in the United States
tend to have limited proficiency in the English language compared with
subsequent generations (Shaull & Gramann, 1998).
Dari pengertian di atas terlihat adanya
berbagai unsur antara lain; (1) Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan
sesuatu kepada orang lain (juga sebagai sumber berita); (2) Apa yang
disampaikan (isi/informasi); (3) Alat atau media yang digunakan (dapat berupa
kata-kata bunyi, laporan dan sebagainya); (4) Tujuan penyampaian (dapat berupa
perintah, pemberitahuan, laporan dan sebagainya); (5) Orang menerima informasi
(komunikasi/communicatte/recever); (6) Responce/jawaban yang
diberikan oleh si penerima
f. Perspektif Struktur Fungsional Masyarakat
Bourdieu (2012) Perspektif struktur fungsional (untuk selanjutnya
disebut persfektif fungsional) memiliki asumsi utama yaitu melihat masyarakat
sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat subsistem. Subsistem tersebut
masing-masing memiliki fungsi yang tidak dapat di tukar satu sama lain. Agar
sistem berjalan stabil maka subsistem maka subsistem harus selalu ada dan
menjalakan fungsinya masing-masing. Apabila salah satu atau beberapa subsistem
tidak berperan sebagaimana fungsinya, maka sistem tersebut akan hancur atau
masyarakat akan mengalami kekacauan.
Konsep penting Perspektif ini adalah struktur dan fungsi, yang
menunjukan pada dua atau lebih bagian komponen yang berbeda dan terpisah, akan
tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur sosial terdiri atas berbagai
komponen masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat
setempat/lokal dan sebagainya, Bourdieu (2012).
Dari konteks di atas terdapat dua pertanyaan mendasar dari para
fungsionalis dalam menganilis pendidikan, yaitu: apa fungsi pendidikan bagi
masyarakat secara keseluruhan? Dan apa fungsi hubungan fungsional antara
institusi pendidikan dengan bagian institusi yang lain dalam sistem sosial?.
Secara umum para analis fungsionalis melihat fungsi serta kontribusi yang
positif lembaga pendidikan dalam memlihara atau mempertahankan keberlangsungan
sistem sosial. Dan ada dua penganut penganut perspektif fungsi sosial, yaitu
Emil Durkheim. Durkheim melihat fungsi utama pendidikan adalah mentransmisikan
nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Durkheim berargumen bahwa:
Society can survive only if there exists among its members a sufficient
degree of homogenity; education perpectuates and reinfoces this homogenity by
fixing in the child form this beginning the essential similarities which
collective life demands.
Zamroni
berpendapat dalam buku pendidikan dan demokrasi dalam transisi (2007); dalam
masyarakat demokrasi lahir kesadaran bahwa kekuasaan apabila kekuasaan akan
aman apabila berada ditangan rakyat sendiri. Disamping itu muncul pula
kesadaran bahwa untuk memegang dan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
tertentu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Dalam banyak hal,
jabatan dan tugas-tugas tertentu tersebut akan mempengaruhi kebijakan
pemerintah yang pada giliranya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas.
Warga masyarakat merelakan itu semua sepanjang kebijakan pemerintah tersebut
tidak mencabut kebebasan, otonomi dan martabatnya.
Perubahan pada
organisasi kemasyarakatan dapat merupakan gerakan yang cepat (revolusi) atau bahkan lambat
(evolusi). Demikian juga, perubahan dapat merupakan tuntutan internal dan
terencana, dan dapat sebagai akibat interaksi dengan hal-hal di luar organisasi masyarakat.
Intinya adalah bahwa perubahan dalam setiap organisasi kemasyarakatan adalah keniscayaan. Yang
berbeda adalah proses, bentuk, dan sumber perubahan itu.
3.
Partisipasi Orang Tua Siswa
a. Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak
Sikap orangtua terhadap pendidikan anak
sering ambigu. Salah satu contoh seperti yang diungkapkan oleh Daniel
dan David (2008: 159) orangtua percaya bahwa pemberian pekerjaan rumah (PR)
bagi anak akan dapat membantu prestasi belajar anaknya, tetapi orangtua mungkin
merasa bahwa PR dapat mengganggu aktivitas lain seperti membantu dalam
mengelola pertanian dan lain sebagainya, atau bahkan para orangtua tidak bisa
membantu menyelesaikan PR dengan di rumah. Lebih lanjut dijelaskan salah satu
hal utama yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak-anak adalah
menyediakan ruangan yang tenang untuk belajar dan menyelesaikan PR, menciptakan
suasana yang menyenangkan bagi anak dan memberikan fasilitas-fasilitas yang lain.
b. Hubungan Keluarga dan Sekolah
Dalam proses kehidupan sebelum menjalani
pendidikan sekolah dasar yang merupakan awal dari mulainya sebuah pendidikan
yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian manusia adalah keluarga.
Keluarga merupakan tempat pertama anak mendapatkan pendidikan sebelum
berhubungan dunia luar. Sejak
anak itu berada dalam kandungan anak telah mendapatkan pendidikan ibunya. Jenis
pendidikan yang diberikan kepada anak oleh keluarga adalah bermacam-macam. Keinginan ini secara manusia tidak terbatas, akan tetapi kemampuan
manusia yang membatasi keinginan tersebut. Oleh karena itu keinginan untuk berkembang
berlangsung mulai dan lahir sampai meninggal dunia. Untuk mengembangkan diri
manusia memerlukan bantuan. Karena keinginan untuk perkembangan itu berlangsung
dari lahir sampai meninggal, maka kebutuhan untuk mendapatkan bantuan itu juga
harus berlangsung seumur hidup. Lebih lanjut dijelaskan pendidikan yang
berlangsung seumur hidup itu berlangsung pada tiga lingkungan pendidikan dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan tempat pertama anak
itu mendapatkan pendidikan. Sejak
anak itu berada dalam kandungan, anak telah mendapatkan pendidikan. Seperti
telah dijelaskan di muka bahwa jenis pendidikan yang diberikan keluarga adalah
bermacam-macam. Pendidikan berlangsung secara informal. Dalam keluarga orang
tua merupakan pendidik utama dan pertama. Pada masyarakat yang sederhana
pendidikan berlangsung dalam keluarga dan masyarakat. Dalam masyarakat anak
akan menjadi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4. Pendidikan Dasar
a.
Pemikiran Pendidikan
Pemikiran pendidikan dalam rumusan ini merupakan
pandangan filosofis yang mendasari struktur ide dan makna pendidikan. Struktur
ide pendidikan tidak lain adalah pandangan tentang manusia dan dunianya sebagai
unit sentral dalam proses pendidikan. Karena itu, pemahaman tentang manusia
dalam konteks ini tidak lepas dari pemahaman tentang konsep pendidikan secara umum.
Barnadib (2000: 197) mengemukakan bahwa
pendidikan adalah upaya sengaja untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
peserta didik. Peserta didik dalam pemahaman konsep ini merupakan makhluk hidup
yang terkomposisi atas jiwa dan raga yang satu dengan lainnya saling
berhubungan dan saling menunjang. Keduanya mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang terpola namun memiliki keunikan masing-masing.
Dalam rumusan yang hampir sama, Kneller
(1967:63) menjelaskan pendidikan dalam arti hasil dan proses. Dari segi hasil,
pendidikan menunjuk pada tindakan atau pengalaman yang berpengaruh pada
pertumbuhan dan perkembangan jiwa, watak, dan kemampuan fisik individu. Dari
segi proses, pendidikan adalah proses di mana masyarakat melalui
lembaga-lembaga pendidikan dengan sengaja mentransformasikan warisan budaya,
yakni pengetahuan, nilai, dan keterampilan dari generasi ke generasi.
Berangkat dari kedua rumusan pendidikan
di atas, berikutnya mengakomodasi konsep Kneller dalam bukunya yang lain, bahwa
pemikiran pendidikan sesungguhnya
merupakan sebuah pandangan dunia dan sistem nilai (a world view and
system of values) (Kneller, 1984:186). Padangan dunia dan sistem nilai
dalam hal ini dipahami sebagai relasi antara subjek pendidikan (peserta didik)
dan dunia di mana subjek didik hidup dan berkembang dengan bantuan dunia
eksternal yakni pendidikan.
Dengan demikian, pemikiran pendidikan
merupakan pandangan tentang apa dan bagaimana manusia (subjek didik) dan
dunianya dibantu dalam proses relasi antara keduanya untuk sampai pada
tujuan-tujuan pendidikan sebagaimana spesifikasi lembaga pendidikan
masing-masing (sekolah
Dasar, Sekolah Menengah, dan perguruan tinggi).
b.
Aksi Pendidikan
Aksi pendidikan
dalam konsep ini berhubungan dengan formluasi tujuan pendidikan yang
mengakomodasi kebutuhan relasi subjek dan dunianya melalui lembaga pendidikan
tertentu, termasuk pendidikan pesantren. Kartini Kartono (1997:17) menjelaskan
bahwa tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan yang
berkaitan dengan masalah norma, sementara norma adalah masalah filsafat.
Dalam teori
pendidikan, terutama yang menganut filsafat tradisional, seperti esensialisme,
proses pendidikan diarahkan pada pelestarian atau pemeliharaan nilai-nilai lama
(kebudayaan) (conservative road to culture). Fungsi lembaga pendidikan
dalam hal ini adalah to transmit the culture and historical heritage to each
new generation of leaners (K. Ellis, dkk., 1986:118). Berbeda dengan Ellis
dkk, Knight (1982:101) memandang
esensialisme sebagai bagian dari filsafat pendidikan kontemporer sebagaimana
progresivisme, perenialisme, rekonstruksionisme, dan behaviorisme. Dengan
mengutif Kneller, Knight melihat bahwa esensialisme merupakan filsafat
pendidikan yang concern dengan lingkungan sosial anak didik dan
memandang karya-karya besar masa lalu sebagai sumber penyelesaian
masalah-masalah sekarang.
c. Sekolah Dasar
Sekolah dasar (SD) merupakan satuan
pendidikan yang menyelengarakan pendidikan enam tahun. Sekolah dasar merupakan
bagian dari pendidikan dasar Sembilan tahun sebagaimana terdapat dalam PP nomor
28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar. Dengan demikian sekolah dasar merupakan
salah satu bentuk satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar.
Di Indonesia penyelenggaraan sekolah
dasar berpijak pada beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan
yuridis. Ada tiga komponen perundang-undangan yang dijadikan landasan yuridis
penyelenggaraan sekolah dasar, baik sebagai satuan pendidikan maupun dalam
kerangka sistem pendidikan nasional, yaitu (UUD 1945), undang-undang RI nomor 2
tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dan PP No. 28 tahun 1990 tentang
pendidikan dasar. Pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar
kepada siswa untuk mengembangkan kehidupanya sebagai pribadi, anggota
masyarakat, warga Negara dan anggota manusia serta mempersiapkan siswa
mengikuti sekolah menengah (Ibrahim, 2006: 6).
d.
Sekolah Sebagai Masyarakat Kecil
Pendekatan microcosmik melihat sekolah sebagai
suatu dunia sendiri, yang dalam dirinya memiliki unusr-unsur untuk bisa disebut
suatu masyarakat besar, seperti; pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat,
aturan-aturan dan norma-norma, serta lembaga yang lain (Zamroni, 2001).
Lebih lanjut zamroni menjelaskan, masyarakat
kecil tetap saja tidak bisa dipisahkan dari masyarakat besarnya; apabila rusak
masyarakat besar, rusak pulalah masyarakat kecil tersebut. Sebagaimana di
uraikan dalam buku pendidikan untuk demokrasi tantangan menuju Civil Society (zamroni) bahwa sekolah
memiliki 2 level: level kelas dan level sekolah. Level kelas mencakup (a) guru,
(b) kurikulum, bahan ajar dan media, (c) iklim.
e.
Sekolah Dasar yang Berkualitas
Untuk menghasilkan pendidikan yang
berkualitas maka program pendidikan harus dipersiapkan dengan baik. Menurut
Nurkholis (2006: 74) untuk menghasilkan pendidikan yang baik dan bermutu maka
sistem pendidikan harus direformasi secara besar-besaran baik dari perencanaan,
pelaksanaan dan lain-lain. Program pendidikan yang berkualitas harus menarik
atau atraktif bagi siswa, orangtua dan masyarakat. Untuk menjadi atraktif maka
program pendidikan harus responship terhadap kebutuhan dan keterlibatan
masyarakat dan orangtua.
Untuk
menciptakan sekolah diperlukan pula iklim sekolah yang demokratis dan memiliki
kepemimpinan yang demokratis pula. Sebagaimana dijelaskan oleh Zamroni (2001)
kepemimpinan sekolah yang demokratis akan mengembangkan siswa intra sekolah
yang mandiri dan banyak menimbulkan dikalangan siswa “moral participation”. Sebaliknya kepemimpinan yang otoriter
menjadikan organisasi sekolah tidak mandiri dan mengembangkan partisipasi
“terpaksa” dari kalangan siswa.
Atas dasar pemikiran di atas sekolah
dasar yang bermutu baik adalah sekolah dasar yang mampu berfungsi sebagai wadah
proses edukasi, proses sosialisasi dan proses transformasi, serta mampu
mengantarkan anak didik menjadi seorang yang terdidik, memiliki kedewasaan
mental dan sosial, serta memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
termasuk kebudayaan bangsa. Dengan demikian sekolah dasar dikatakan baik
apabila menghasilkan lulusan yang berbudi luhur, memiliki kedewasaan mental dan
sosial serta memiliki ilmu pengertahuan dan teknologi (IPTEK).
f.
Peranan dan fungsi
pendidikan di sekolah dasar (SD)
Pendidikan di sekolah dasar (SD) sebagai
bagian dari sistem pendidikan nasional mempunyai peranan yang sangat penting
dalam meningkatkan sumberdaya manusia, karena pendidikan pada dasarnya
merupakan usaha mengembangkan sumberdaya manusia. Pendidikan sekolah dasar
diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas. Dalam konteks
pembangunan bangsa dan negara pendidikan peranan yang sangat penting dalam
pembangunan dan kemajuan negara dan bangsa. Sebagaimana dijelaskan oleh Suharjo
(2006: 1) maju mundurnya negara dan bangsa tergantung dari maju mundurnya
pendidikan. Dengan demikian pendidikan itu berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
5. Kesimpulan
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan
dalam meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan dasar. Maju mundurnya
pendidikan dasar dapat dilihat dari seberapa besar dukungan yang diberikan
masayarakat. Semakin besar dukungan masyarakat maka sekolah pengelola semakin
mampu untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Upaya untuk menarik partisipasi
masyarakat bukanlah suatu yang mudah mengingat level pengetahuan masyarakat
dengan fungsi sekolah masih sangat rendah, menyadarkan masyarakat untuk ikut
terus berpartisipasi merupakan tanggung jawab pengelola pendidikan dasar.
Penyadaran ini juga dapat dilakukan oleh pemerintah desa dan pemuka masyarakat
dengan berbagai pendekatan dan cara yang sesuai dengan kondisi daerah dan
kondisi masyarakatnya.
Selain itu pengelola pendidikan dasar
harus memahami kondisi masyarakat sehingga dapat menentukan pendekatan dan cara
berkomunikasi yang tepat agar masyarakat mau terlibat secara sadar dan
sukarela. Sosialiasasi dapat digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan dan
menjual imformasi kapada masyarakat. Semakin baik dan semakin jelas
penyampainnya maka masyarakat akan semakin mudah dalam menerima apa yang
disampaikan. Kemampuan manajemen sekolah dalam penyampaian informasi menjadi
salah satu faktor penentu tingkat partisipasi masayarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan sekolah dasar.
Fundamentalitas dapat ditemukan dari
kedudukan pendidikan sebagai salah satu instrumen utama dan penting dalam
peningkatkan segenap potensi anak menjadi sosok kekuatan sumberdaya manusia (human
resource) yang berkualitas bagi suatu bangsa. Tanpa melalui pendidikan
seorang anak diyakini tidak akan dapat menjadi manusia yang bermartabat dan
bermanfaat yakni menjadi sosok manusia yang utuh (a fully functioning person).
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih